Judul : Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL
link : Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL
Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL
Ilustrasi PKR 10514 KRI GNR [Damen] ⚓️
PT PAL Indonesia (Persero) sebagai perusahaan galangan kapal nasional yang sahamnya 100% milik BUMN mengaku siap memenuhi kebutuhan kapal perang TNI AL jenis Fregat untuk memperkuat sistem alutsista Tentara Nasional Indonesia. Namun mereka saat ini masih hanya sebagai penonton saja. Sebab semuanya sangat tergantung pada pemilik dan kuasa pemegang anggaran, dalam hal ini adalah Kementerian Pertahanan RI, yang masih setia membeli Fregat produk negara asing.
Ketika harus membeli alutsista dari luar negeri, transfer pengetahuan dan teknologi harus dijalankan sehingga kedepannya PT PAL mampu memproduksi sendiri peralatan tempur TNI AL. Sekretaris Perusahaan PT PAL, Rariya Budi Harta memastikan, perkembangan industri Alutsista Dalam Negeri saat ini sedang berkembang dengan sangat baik. Industri Alutsista Dalam Negeri memasuki fase lanjutan dalam penguasaan teknologi. PT PAL adalah lead integrator untuk menguasai teknologi Alutsista Matra Laut secara bertahap, baik untuk jenis kapal permukaan maupun kapal selam.
"Menurut amanat UU No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan BUMN ditetapkan oleh Pemerintah sebagai lead integrator-Tier 1 yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen dan bahan baku menjadi alat utama," ujar Rariya saat dihubungi Law-Justice.co, Jumat (3/4/2020).
Sebagai Lead Integrator, PT PAL berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan Alutsista dalam negeri dan turut membina/memberdayakan industri-industri yang berada pada Tier di bawah PT PAL. "Sebagai contoh, dalam pembangunan kapal Landing Platform Dock (LPD) PT PAL bersinergi dengan 3 BUMN dan 94 BUMS, sementara dalam pembangunan Kapal Cepat Rudal (KCR) PT PAL bersinergi dengan 4 BUMN dan 62 BUMS," jelasnya.
Sementara itu menyambut perkembangan alusista 10 tahun ke depan, Rariya memastikan PT PAL memiliki road map untuk pengembangan teknologi Alutsista, baik untuk pengembangan produk unggulan yang telah dimiliki sehingga mampu mengikuti perkembangan teknologi militer terkini maupun penguasaan teknologi untuk produk baru. Pihaknya saat ini siap untuk terus berinovasi mengikuti perkembangan zaman dan teknologi militer dunia. "Dengan demikian PT PAL siap menjadi industri pertahanan matra laut dan memiliki competitiveness," terang Rariya.
Ketika disinggung tentang persaingan dengan industri alusista asing, Rariya mengatakan bahwa saat ini kebanyakan negara telah menerapkan sistem Imbal Dagang, Komponen Lokal, dan Offset (IDKLO). Sistem tersebut mendorong terwujudnya penguasaan teknologi militer di dalam negeri melalui kolaborasi, bukan melalui persaingan frontal. Selain itu, Pemerintah melalui UU 16 tahun 2012 telah menerapkan kebijakan untuk mewujudkan penguasaan teknologi Alutsista secara mandiri dengan skema Transfer of Technology (ToT).
"Melalui skema ToT tersebut, Industri Pertahanan Dalam Negeri akan dilibatkan dalam proses produksi, sehingga pada waktu tertentu industri pertahanan dalam negeri termasuk PT PAL, dapat memproduksi Alutsista terkini secara mandiri," ujar Rariya.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang dalam dilemma untuk mengambil keputusan akhir mengenai pembelian kapal tempur laut jenis Fregat tipe terbaru, menggantikan 6 unit yang saat ini sudah dimakan usia. Pihak Denmark dan Belanda menjadi dua negara yang bertarung untuk menawarkan produk Fregat mereka kepada TNI AL, ujar sumber informasi Law-Justice.co di Kantor Kemhan, yang minta namanya tidak usah disebut.
Fregat Iver Huitfeldt Denmark (istimewa)
Awalnya Indonesia sudah setuju dan terikat kontrak untuk membeli Kapal Fregat baru produksi Belanda di saat era periode pertama Presiden Jokowi, pada tahun 2018. Namun pembelian ini terancam gagal saat ada tawaran masuk ke elit lingkaran dalam Presiden Jokowi untuk lebih baik membeli Fregat buatan Denmark seharga US$ 300 juta. Selain harganya lebih murah dari Fregat Belanda yang mencapai US$ 375 juta, produk Fregat Denmark ini sangat cocok operasi sistem kesenjataan dan jenis rudal meriam tempurnya dengan standar yang dimiliki dan dioperasikan oleh TNI AL, lanjut sumber tersebut.
Belanda yang tidak mau kontrak yang sudah disepakati menjadi batal, langsung bergerak cepat melobby Presiden Jokowi agar komit dan patuh dengan kontrak yang sudah dibuat. Tidak tanggung-tanggung pelobinya adalah Raja Belanda sendiri Willem Alexander. Willem dan Ratu Maxima datang ke Indonesia untuk kunjungan resmi tanggal 10 Maret 2020. Dalam agenda kerja kunjungan resmi Willem tidak disebutkan adanya pembahasan tentang Fregat ini.
Namun sumber Law-Justice.co di Istana Negara menyebutkan dalam pembicaraan empat mata dengan Presiden, Willem memohon agar pemerintah Indonesia tetap mematuhi perjanjian kontrak pembelian kapal perusak Fregat ini. Jadi jangan senang dulu dengan pencitraan bahwa Raja Belanda khusus datang ke Indonesia untuk meminta maaf kepada Indonesia soal kejahatan perang yang dilakukan serdadu Belanda saat menjajah Indonesia dahulu kala.
Sebagai bukti keseriusan Belanda untuk berinvestasi di Indonesia, Willem membawa rombongan sekitar 125 orang pebisnis papan atas. Salah satu yang ikut dalam rombongan itu pastilah Presiden Direktur PT Damen Schelde Indonesia, Gysbert Boersma. Damen adalah perusahaan yang memproduksi pesanan kapal Fregat Indonesia itu.
Boersma berjuang mati-matian agar Indonesia tetap membeli kapal Fregatnya. Jauh sebelum Willem datang ke Indonesia, menurut sumber informasi Law-Justice.co di Kemhan, mengatakan bahwa salah satu Staf Khusus Menhan Prabowo, yang bukan dari unsur militer tapi sangat faham bisnis Alutsista telah bertemu dengan Boersma di Belanda. Masalahnya kontrak pembelian Fregat itu dibuat saat era Menhan yang lama, Ryamizard Ryacudu. Tentu di era Menhan baru bisa saja kontrak itu dikaji ulang dengan alasan klasik ada Fregat produksi negara lain yang lebih murah harganya dengan spek yang jauh cocok untuk TNI AL dan lebih bagus dari produk Belanda.
Sumber informasi Law-Justice.co di Istana Negara mengatakan bahwa Jokowi belum memutuskan akan membeli Fregat buatan Belanda atau Denmark, Yang pasti Menhan Prabowo sudah memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden untuk membeli yang sesuai dan cocok untuk kebutuhan Alutsista TNI AL. Terserah Presiden saja yang memutuskan, lanjut sumber tersebut.
Walau begitu para broker dan pemain anggaran Alutsista terus bergerilya untuk mempengaruhi keputusan Presiden nanti. Mereka mendekati orang dalam atau tangan kanan Presiden. Sumber Law-Justice.co di Istana Negara Jakarta, mengatakan bahwa Presiden sudah mendapat masukan dari orang kepercayaannya yang sering dijuluki media sebagai Menteri segala urusan, Luhut Panjaitan.
Luhut lebih memilih tetap mematuhi kontrak dengan Belanda tapi dengan permintaan agar broker yang menjadi mitra Damen Schelde dalam pembelian Fregat itu diganti dengan orang yang dia rekomendasikan. Tentu dengan adanya broker baru pasti ada resistensi dari dalam dan luar Kemhan yang selama ini sudah menikmati gurita bisnis dan komisi dari pembelian Alutsista. Karena itulah Prabowo bertindak agar pengadaan Alutsista ini dilakukan langsung oleh Negara dengan Negara, bukan jadi bancakan untuk para broker dan mafia anggaran Alutsista.
Ilustrasi Damen Omega Frigate (istimewa)
Mudah-mudahan benar dan bisa dibuktikan bahwa Menhan Prabowo serius mau menertibkan para broker dan mafia anggaran Alutsista, yang sudah nyaman dengan me-markup anggaran Alutsista bisa sampai 300%. Jangan sampai yang terjadi sebenarnya hanya pergantian para broker dan operator pemegang kuasa anggaran alutsista. Artinya modus dan operasi mafia bisnis alutsista terus berjalan dan abadi karena yang berubah dan berganti hanya rejim pelakunya saja.
Terkait hal itu itu anggota Komisi I Dave Laksono menjelaskan Komisi I tentu akan mendukung penuh jika fregat tersebut memenuhi persyaratan pertahanan Indonesia. Menurut Dave, PT PAL atau pun BUMN alustista lainnya harus tetap diikutsertakan dalam pengadaan alat-alat seperti fregat ini, karena tentu dikemudian hari sperpart-sperpart seperti fregat ini harus bisa diciptakan pabrik dalam negeri.
"Jadi kami Komisi I tentu melihat paketnya dari alat tersebut (fregat) kalau memang tidak sesuai dengan Indonesia tentu akan didesak untuk disesuaikan, misalnya radarnya, monitornya harus disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia. Paket yang dimaksud terkait harganya berapa, sperpart fregat ini dari asalnya seperti apa, hal ini dimaksud supaya PT PAL ke depannya bisa mengembangkan alat tersebut dan tidak bergantung dari pabrik asal," katanya.
Sementara itu terkait rumor gagalnya pembelian Sukhoi SU-35 dari Rusia karena UU CAATSA AS, Dave menekankan dalam melakukan embargo tentu ada syarat-syaratnya jadi menurutnya tidak asal saja suatu negara menerapkan embargo.
"Kan, kita tidak hanya membeli alat-alat alustista ini dari suatu negara, Amerika pun kemarin kita juga membeli dari mereka, ada F-16 dan lainnya, Di sini tentu harus ada keadilan dong, AS tentu tidak asal melarang," jelasnya Dave.
Ketika disinggung penyedian alat-alat oleh pihak ketiga, Dave mengaku memang hal itu ada, namun dia tidak sepakat jika mereka (pihak ketiga) ini dikategorikan sebagai calo. Menurutnya dalam pengadaan industri alustista memang pihak ketiga ini sangat dibutuhkan, karena memang melalui merekalah alat ini bisa dibeli.
"Saya tidak setuju mereka disebut calo, mereka punya peran kok, toh tentu terkait persetujuan kan tetap ada di TNI atau pun Negara," katanya.
PT PAL Indonesia (Persero) sebagai perusahaan galangan kapal nasional yang sahamnya 100% milik BUMN mengaku siap memenuhi kebutuhan kapal perang TNI AL jenis Fregat untuk memperkuat sistem alutsista Tentara Nasional Indonesia. Namun mereka saat ini masih hanya sebagai penonton saja. Sebab semuanya sangat tergantung pada pemilik dan kuasa pemegang anggaran, dalam hal ini adalah Kementerian Pertahanan RI, yang masih setia membeli Fregat produk negara asing.
Ketika harus membeli alutsista dari luar negeri, transfer pengetahuan dan teknologi harus dijalankan sehingga kedepannya PT PAL mampu memproduksi sendiri peralatan tempur TNI AL. Sekretaris Perusahaan PT PAL, Rariya Budi Harta memastikan, perkembangan industri Alutsista Dalam Negeri saat ini sedang berkembang dengan sangat baik. Industri Alutsista Dalam Negeri memasuki fase lanjutan dalam penguasaan teknologi. PT PAL adalah lead integrator untuk menguasai teknologi Alutsista Matra Laut secara bertahap, baik untuk jenis kapal permukaan maupun kapal selam.
"Menurut amanat UU No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan BUMN ditetapkan oleh Pemerintah sebagai lead integrator-Tier 1 yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen dan bahan baku menjadi alat utama," ujar Rariya saat dihubungi Law-Justice.co, Jumat (3/4/2020).
Sebagai Lead Integrator, PT PAL berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan Alutsista dalam negeri dan turut membina/memberdayakan industri-industri yang berada pada Tier di bawah PT PAL. "Sebagai contoh, dalam pembangunan kapal Landing Platform Dock (LPD) PT PAL bersinergi dengan 3 BUMN dan 94 BUMS, sementara dalam pembangunan Kapal Cepat Rudal (KCR) PT PAL bersinergi dengan 4 BUMN dan 62 BUMS," jelasnya.
Sementara itu menyambut perkembangan alusista 10 tahun ke depan, Rariya memastikan PT PAL memiliki road map untuk pengembangan teknologi Alutsista, baik untuk pengembangan produk unggulan yang telah dimiliki sehingga mampu mengikuti perkembangan teknologi militer terkini maupun penguasaan teknologi untuk produk baru. Pihaknya saat ini siap untuk terus berinovasi mengikuti perkembangan zaman dan teknologi militer dunia. "Dengan demikian PT PAL siap menjadi industri pertahanan matra laut dan memiliki competitiveness," terang Rariya.
Ketika disinggung tentang persaingan dengan industri alusista asing, Rariya mengatakan bahwa saat ini kebanyakan negara telah menerapkan sistem Imbal Dagang, Komponen Lokal, dan Offset (IDKLO). Sistem tersebut mendorong terwujudnya penguasaan teknologi militer di dalam negeri melalui kolaborasi, bukan melalui persaingan frontal. Selain itu, Pemerintah melalui UU 16 tahun 2012 telah menerapkan kebijakan untuk mewujudkan penguasaan teknologi Alutsista secara mandiri dengan skema Transfer of Technology (ToT).
"Melalui skema ToT tersebut, Industri Pertahanan Dalam Negeri akan dilibatkan dalam proses produksi, sehingga pada waktu tertentu industri pertahanan dalam negeri termasuk PT PAL, dapat memproduksi Alutsista terkini secara mandiri," ujar Rariya.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang dalam dilemma untuk mengambil keputusan akhir mengenai pembelian kapal tempur laut jenis Fregat tipe terbaru, menggantikan 6 unit yang saat ini sudah dimakan usia. Pihak Denmark dan Belanda menjadi dua negara yang bertarung untuk menawarkan produk Fregat mereka kepada TNI AL, ujar sumber informasi Law-Justice.co di Kantor Kemhan, yang minta namanya tidak usah disebut.
Fregat Iver Huitfeldt Denmark (istimewa)
Awalnya Indonesia sudah setuju dan terikat kontrak untuk membeli Kapal Fregat baru produksi Belanda di saat era periode pertama Presiden Jokowi, pada tahun 2018. Namun pembelian ini terancam gagal saat ada tawaran masuk ke elit lingkaran dalam Presiden Jokowi untuk lebih baik membeli Fregat buatan Denmark seharga US$ 300 juta. Selain harganya lebih murah dari Fregat Belanda yang mencapai US$ 375 juta, produk Fregat Denmark ini sangat cocok operasi sistem kesenjataan dan jenis rudal meriam tempurnya dengan standar yang dimiliki dan dioperasikan oleh TNI AL, lanjut sumber tersebut.
Belanda yang tidak mau kontrak yang sudah disepakati menjadi batal, langsung bergerak cepat melobby Presiden Jokowi agar komit dan patuh dengan kontrak yang sudah dibuat. Tidak tanggung-tanggung pelobinya adalah Raja Belanda sendiri Willem Alexander. Willem dan Ratu Maxima datang ke Indonesia untuk kunjungan resmi tanggal 10 Maret 2020. Dalam agenda kerja kunjungan resmi Willem tidak disebutkan adanya pembahasan tentang Fregat ini.
Namun sumber Law-Justice.co di Istana Negara menyebutkan dalam pembicaraan empat mata dengan Presiden, Willem memohon agar pemerintah Indonesia tetap mematuhi perjanjian kontrak pembelian kapal perusak Fregat ini. Jadi jangan senang dulu dengan pencitraan bahwa Raja Belanda khusus datang ke Indonesia untuk meminta maaf kepada Indonesia soal kejahatan perang yang dilakukan serdadu Belanda saat menjajah Indonesia dahulu kala.
Sebagai bukti keseriusan Belanda untuk berinvestasi di Indonesia, Willem membawa rombongan sekitar 125 orang pebisnis papan atas. Salah satu yang ikut dalam rombongan itu pastilah Presiden Direktur PT Damen Schelde Indonesia, Gysbert Boersma. Damen adalah perusahaan yang memproduksi pesanan kapal Fregat Indonesia itu.
Boersma berjuang mati-matian agar Indonesia tetap membeli kapal Fregatnya. Jauh sebelum Willem datang ke Indonesia, menurut sumber informasi Law-Justice.co di Kemhan, mengatakan bahwa salah satu Staf Khusus Menhan Prabowo, yang bukan dari unsur militer tapi sangat faham bisnis Alutsista telah bertemu dengan Boersma di Belanda. Masalahnya kontrak pembelian Fregat itu dibuat saat era Menhan yang lama, Ryamizard Ryacudu. Tentu di era Menhan baru bisa saja kontrak itu dikaji ulang dengan alasan klasik ada Fregat produksi negara lain yang lebih murah harganya dengan spek yang jauh cocok untuk TNI AL dan lebih bagus dari produk Belanda.
Sumber informasi Law-Justice.co di Istana Negara mengatakan bahwa Jokowi belum memutuskan akan membeli Fregat buatan Belanda atau Denmark, Yang pasti Menhan Prabowo sudah memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden untuk membeli yang sesuai dan cocok untuk kebutuhan Alutsista TNI AL. Terserah Presiden saja yang memutuskan, lanjut sumber tersebut.
Walau begitu para broker dan pemain anggaran Alutsista terus bergerilya untuk mempengaruhi keputusan Presiden nanti. Mereka mendekati orang dalam atau tangan kanan Presiden. Sumber Law-Justice.co di Istana Negara Jakarta, mengatakan bahwa Presiden sudah mendapat masukan dari orang kepercayaannya yang sering dijuluki media sebagai Menteri segala urusan, Luhut Panjaitan.
Luhut lebih memilih tetap mematuhi kontrak dengan Belanda tapi dengan permintaan agar broker yang menjadi mitra Damen Schelde dalam pembelian Fregat itu diganti dengan orang yang dia rekomendasikan. Tentu dengan adanya broker baru pasti ada resistensi dari dalam dan luar Kemhan yang selama ini sudah menikmati gurita bisnis dan komisi dari pembelian Alutsista. Karena itulah Prabowo bertindak agar pengadaan Alutsista ini dilakukan langsung oleh Negara dengan Negara, bukan jadi bancakan untuk para broker dan mafia anggaran Alutsista.
Ilustrasi Damen Omega Frigate (istimewa)
Mudah-mudahan benar dan bisa dibuktikan bahwa Menhan Prabowo serius mau menertibkan para broker dan mafia anggaran Alutsista, yang sudah nyaman dengan me-markup anggaran Alutsista bisa sampai 300%. Jangan sampai yang terjadi sebenarnya hanya pergantian para broker dan operator pemegang kuasa anggaran alutsista. Artinya modus dan operasi mafia bisnis alutsista terus berjalan dan abadi karena yang berubah dan berganti hanya rejim pelakunya saja.
Terkait hal itu itu anggota Komisi I Dave Laksono menjelaskan Komisi I tentu akan mendukung penuh jika fregat tersebut memenuhi persyaratan pertahanan Indonesia. Menurut Dave, PT PAL atau pun BUMN alustista lainnya harus tetap diikutsertakan dalam pengadaan alat-alat seperti fregat ini, karena tentu dikemudian hari sperpart-sperpart seperti fregat ini harus bisa diciptakan pabrik dalam negeri.
"Jadi kami Komisi I tentu melihat paketnya dari alat tersebut (fregat) kalau memang tidak sesuai dengan Indonesia tentu akan didesak untuk disesuaikan, misalnya radarnya, monitornya harus disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia. Paket yang dimaksud terkait harganya berapa, sperpart fregat ini dari asalnya seperti apa, hal ini dimaksud supaya PT PAL ke depannya bisa mengembangkan alat tersebut dan tidak bergantung dari pabrik asal," katanya.
Sementara itu terkait rumor gagalnya pembelian Sukhoi SU-35 dari Rusia karena UU CAATSA AS, Dave menekankan dalam melakukan embargo tentu ada syarat-syaratnya jadi menurutnya tidak asal saja suatu negara menerapkan embargo.
"Kan, kita tidak hanya membeli alat-alat alustista ini dari suatu negara, Amerika pun kemarin kita juga membeli dari mereka, ada F-16 dan lainnya, Di sini tentu harus ada keadilan dong, AS tentu tidak asal melarang," jelasnya Dave.
Ketika disinggung penyedian alat-alat oleh pihak ketiga, Dave mengaku memang hal itu ada, namun dia tidak sepakat jika mereka (pihak ketiga) ini dikategorikan sebagai calo. Menurutnya dalam pengadaan industri alustista memang pihak ketiga ini sangat dibutuhkan, karena memang melalui merekalah alat ini bisa dibeli.
"Saya tidak setuju mereka disebut calo, mereka punya peran kok, toh tentu terkait persetujuan kan tetap ada di TNI atau pun Negara," katanya.
⚓️ Law Justice
Demikianlah Artikel Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL
Sekianlah artikel Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2020/04/pertarungan-para-broker-untuk-bancakan.html
0 Response to "Pertarungan Para Broker untuk Bancakan Kebutuhan Kapal Fregat TNI AL"
Posting Komentar