Judul : Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer
link : Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer
Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer
Proyek kapal perang China 2021 [ist] ★
Sejumlah pengamat hubungan internasional dan militer membandingkan upaya Indonesia dengan ambisi China meningkatkan kekuatan militer.
Koordinator dan Analis Senior Bidang Keamanan Politik di Laboratorium Indonesia 2045, Andi Widjajanto, menilai China tak lagi berada dalam level modernisasi pertahanan. Lebih jauh lagi, negara yang dipimpin Xi Jinping itu disebut Andi kini lebih pada peningkatan kekuatan militer.
"Di wilayah kita, di Asia Tenggara, tentu saja kita melihat pembangunan berkelanjutan dari militer China. Bagi saya, itu bukan hanya modernisasi, tetapi sudah masuk dalam arms build up," tutur Andi dalam diskusi yang diselenggarakan Komunitas Politik Luar Negeri Indonesia (FPCI), Kamis (10/2).
Menurut Andi, apa yang China lakukan sejak awal 2000-an bukan lagi modernisasi militer, tetapi sudah masuk dalam peningkatan kekuatan militer (arm build-up).
Andi menuturkan, kedua istilah ini merupakan terminologi akademik untuk dinamika senjata. Menurutnya, modernisasi pertahanan merupakan upaya suatu negara memperbarui senjata mereka dengan jenis yang sama dan jumlah yang sama, tanpa menggandakan kekuatan.
"Kalau arms build up, dia pembangunan senjata melebihi modernisasi. Jadi ada penambahan jumlah serta diperkenalkan jenis-jenisnya yang baru," kata Andi saat diwawancara CNNIndonesia.com, Kamis (10/2).
Andi menambahkan, China sudah mulai terlihat melakukan peningkatan kekuatan militer sejak 2008. Ia mencontohkan saat China dapat membangun kapal induk mereka sendiri.
Selain itu, Andi menuturkan level ini membuat angkatan laut China akan semakin dominan. Ia menilai untuk saat ini, hanya pasukan Amerika Serikat yang bisa mengimbangi militer China.
Upaya RI Membangun Kekuatan Militer
Saat ditanya kondisi pertahanan Indonesia, Andi menilai Indonesia masih belum bisa melakukan modernisasi pertahanan.
"Indonesia harus menghitung ulang gelar pertahanannya. Secara anggaran, Indonesia itu bahkan belum bisa melakukan modernisasi. Masih pemeliharaan senjata. Jadi dua tingkat di bawah dinamika senjata yang sedang dilakukan oleh China dan Barat," jelas Andi.
Dalam laporan berjudul 'Dinamika Persenjataan Global dan Proyeksi Pembangunan Pertahanan Indonesia 2045,' yang disusun oleh Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), RI disebut masih berada dalam posisi pemeliharaan persenjataan di dinamika persenjataan global.
Laporan ini juga merekomendasikan pemerintah RI untuk merancang program pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang. Pemerintah juga dianjurkan mulai mengadopsi tata kelola ekonomi pertahanan.
Di sisi lain, pembangunan senjata ini terjadi saat China mengalami konflik maritim dengan beberapa negara Asia Tenggara di Laut China Selatan (LCS).
Seperti diketahui, China terus menegaskan klaimnya atas LCS dengan mengirimkan kapal patroli hingga kapal ikannya, menerbangkan jet-jet tempur, sampai membangun pulau buatan dan instalasi militer di perairan itu.
Padahal, klaim Beijing atas 90 persen wilayah Laut China Selatan tumpang tindih dengan wilayah perairan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, hingga Brunei Darussalam.
Mengutip Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), China terus mengembangkan kekuatan mereka di LCS sejak 2014. Pengembangan ini dilakukan lewat konstruksi pangkalan ganda sipil-militer di Kepulauan Spratly dan Paracel yang menjadi titik panas.
Beberapa pembangunan yang dilakukan Beijing di kawasan tersebut ialah radar dan susunan komunikasi baru, lapangan terbang dan hanggar untuk pesawat tempur, pun juga penempatan sistem rudal anti-kapal.
Meski tak terlibat konflik di LCS, perairan Natuna di RI berbatasan dengan titik panas itu.
Pada Agustus 2021, kapal riset China, Hai Yang Di Zhi 10, terdeteksi di perairan Natuna. Menurut pantauan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) melalui Automatic Identification System (AIS), kapal China tersebut terlihat melakukan intrusi ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Di September, kapal ini terdeteksi keluar dari ZEE Indonesia dan menuju Fiery Cross Reef, gugusan pulau karang di LCS. Pada Oktober, kapal ini terdeteksi masuk ke Laut Natuna.
Apa itu Dinamika Persenjataan Global?
Menurut Buzan dan Herring yang dikutip laporan Lab 45, dinamika persenjataan adalah cakupan yang menggambarkan posisi relatif negara dalam pengembangan persenjataan.
Dalam dinamika ini, ada tiga kategori yang membedakan posisi tiap negara, yakni pemeliharaan senjata, modernisasi senjata, dan pembangunan senjata.
Negara-negara dalam kategori pemeliharaan senjata hanya mempertahankan status quo kemampuan militernya. Fokus negara di level ini adalah melakukan pemeriksaan, perawatan, dan perbaikan dari alutsista yang telah dimiliki.
Selanjutnya, modernisasi senjata merupakan kategori untuk negara yang memperbarui alutsistanya secara selektif guna mencapai kepentingan strategis tertentu.
Sementara itu, negara yang sudah mencapai tahap pembangunan senjata bisa melakukan akuisisi teknologi persenjataan baru secara masif untuk meningkatkan kekuatan militernya.
Indonesia sendiri saat ini sepakat dengan Prancis untuk membeli 42 jet tempur jenis Rafale generasi 4,5 dari negara Eropa tersebut.
Kesepakatan pembelian itu ditandatangani oleh Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto saat menjamu kedatangan Menhan Prancis Florence Parly di Jakarta pada Kamis (10/2).
Usai penandatanganan itu pada hari yang sama, Departemen Luar Negeri AS setuju rencana menjual 36 jet tempur F-15 ke Indonesia.
AS juga setuju dengan rencana penjualan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) senilai US$ 14 miliar atau setara Rp 200,8 triliun ke Indonesia. (pwn/bac)
Sejumlah pengamat hubungan internasional dan militer membandingkan upaya Indonesia dengan ambisi China meningkatkan kekuatan militer.
Koordinator dan Analis Senior Bidang Keamanan Politik di Laboratorium Indonesia 2045, Andi Widjajanto, menilai China tak lagi berada dalam level modernisasi pertahanan. Lebih jauh lagi, negara yang dipimpin Xi Jinping itu disebut Andi kini lebih pada peningkatan kekuatan militer.
"Di wilayah kita, di Asia Tenggara, tentu saja kita melihat pembangunan berkelanjutan dari militer China. Bagi saya, itu bukan hanya modernisasi, tetapi sudah masuk dalam arms build up," tutur Andi dalam diskusi yang diselenggarakan Komunitas Politik Luar Negeri Indonesia (FPCI), Kamis (10/2).
Menurut Andi, apa yang China lakukan sejak awal 2000-an bukan lagi modernisasi militer, tetapi sudah masuk dalam peningkatan kekuatan militer (arm build-up).
Andi menuturkan, kedua istilah ini merupakan terminologi akademik untuk dinamika senjata. Menurutnya, modernisasi pertahanan merupakan upaya suatu negara memperbarui senjata mereka dengan jenis yang sama dan jumlah yang sama, tanpa menggandakan kekuatan.
"Kalau arms build up, dia pembangunan senjata melebihi modernisasi. Jadi ada penambahan jumlah serta diperkenalkan jenis-jenisnya yang baru," kata Andi saat diwawancara CNNIndonesia.com, Kamis (10/2).
Andi menambahkan, China sudah mulai terlihat melakukan peningkatan kekuatan militer sejak 2008. Ia mencontohkan saat China dapat membangun kapal induk mereka sendiri.
Selain itu, Andi menuturkan level ini membuat angkatan laut China akan semakin dominan. Ia menilai untuk saat ini, hanya pasukan Amerika Serikat yang bisa mengimbangi militer China.
Upaya RI Membangun Kekuatan Militer
Saat ditanya kondisi pertahanan Indonesia, Andi menilai Indonesia masih belum bisa melakukan modernisasi pertahanan.
"Indonesia harus menghitung ulang gelar pertahanannya. Secara anggaran, Indonesia itu bahkan belum bisa melakukan modernisasi. Masih pemeliharaan senjata. Jadi dua tingkat di bawah dinamika senjata yang sedang dilakukan oleh China dan Barat," jelas Andi.
Dalam laporan berjudul 'Dinamika Persenjataan Global dan Proyeksi Pembangunan Pertahanan Indonesia 2045,' yang disusun oleh Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), RI disebut masih berada dalam posisi pemeliharaan persenjataan di dinamika persenjataan global.
Laporan ini juga merekomendasikan pemerintah RI untuk merancang program pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang. Pemerintah juga dianjurkan mulai mengadopsi tata kelola ekonomi pertahanan.
Di sisi lain, pembangunan senjata ini terjadi saat China mengalami konflik maritim dengan beberapa negara Asia Tenggara di Laut China Selatan (LCS).
Seperti diketahui, China terus menegaskan klaimnya atas LCS dengan mengirimkan kapal patroli hingga kapal ikannya, menerbangkan jet-jet tempur, sampai membangun pulau buatan dan instalasi militer di perairan itu.
Padahal, klaim Beijing atas 90 persen wilayah Laut China Selatan tumpang tindih dengan wilayah perairan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, hingga Brunei Darussalam.
Mengutip Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), China terus mengembangkan kekuatan mereka di LCS sejak 2014. Pengembangan ini dilakukan lewat konstruksi pangkalan ganda sipil-militer di Kepulauan Spratly dan Paracel yang menjadi titik panas.
Beberapa pembangunan yang dilakukan Beijing di kawasan tersebut ialah radar dan susunan komunikasi baru, lapangan terbang dan hanggar untuk pesawat tempur, pun juga penempatan sistem rudal anti-kapal.
Meski tak terlibat konflik di LCS, perairan Natuna di RI berbatasan dengan titik panas itu.
Pada Agustus 2021, kapal riset China, Hai Yang Di Zhi 10, terdeteksi di perairan Natuna. Menurut pantauan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) melalui Automatic Identification System (AIS), kapal China tersebut terlihat melakukan intrusi ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Di September, kapal ini terdeteksi keluar dari ZEE Indonesia dan menuju Fiery Cross Reef, gugusan pulau karang di LCS. Pada Oktober, kapal ini terdeteksi masuk ke Laut Natuna.
Apa itu Dinamika Persenjataan Global?
Menurut Buzan dan Herring yang dikutip laporan Lab 45, dinamika persenjataan adalah cakupan yang menggambarkan posisi relatif negara dalam pengembangan persenjataan.
Dalam dinamika ini, ada tiga kategori yang membedakan posisi tiap negara, yakni pemeliharaan senjata, modernisasi senjata, dan pembangunan senjata.
Negara-negara dalam kategori pemeliharaan senjata hanya mempertahankan status quo kemampuan militernya. Fokus negara di level ini adalah melakukan pemeriksaan, perawatan, dan perbaikan dari alutsista yang telah dimiliki.
Selanjutnya, modernisasi senjata merupakan kategori untuk negara yang memperbarui alutsistanya secara selektif guna mencapai kepentingan strategis tertentu.
Sementara itu, negara yang sudah mencapai tahap pembangunan senjata bisa melakukan akuisisi teknologi persenjataan baru secara masif untuk meningkatkan kekuatan militernya.
Indonesia sendiri saat ini sepakat dengan Prancis untuk membeli 42 jet tempur jenis Rafale generasi 4,5 dari negara Eropa tersebut.
Kesepakatan pembelian itu ditandatangani oleh Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto saat menjamu kedatangan Menhan Prancis Florence Parly di Jakarta pada Kamis (10/2).
Usai penandatanganan itu pada hari yang sama, Departemen Luar Negeri AS setuju rencana menjual 36 jet tempur F-15 ke Indonesia.
AS juga setuju dengan rencana penjualan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) senilai US$ 14 miliar atau setara Rp 200,8 triliun ke Indonesia. (pwn/bac)
➶ CNN
Demikianlah Artikel Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer
Sekianlah artikel Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2022/02/pengamat-bandingkan-upaya-china-dan-ri.html
0 Response to "Pengamat Bandingkan Upaya China dan RI Bangun Kekuatan Militer"
Posting Komentar