Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet - Hallo sahabat
Berita Wawancara, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Artikel Kabar,
Artikel Berita,
Artikel Berita Wawan cara,
Artikel Fenomena,
Artikel Indonesia,
Artikel Islam,
Artikel Islami,
Artikel Muslim,
Artikel Politik,
Artikel Ragam,
Artikel Unik, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
Pelajaran dari Seorang Penjual Dawetlink :
Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet
Baca juga
Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet
JURNAL WARGA - Lelaki separuh baya bertampang ceria di depan saya ini terlihat sangat murah senyum. Walaupun sedikit nampak wajah lelah dari tatapan matanya.
Namanya Mas Roy. Roy Sandie Soekarno lengkapnya. Bisa jadi bapaknya salah satu pengagum Bung Kurno. Entahlah.
Perawakannya tinggi besar dengan warna kulit yang memperlihatkan bahwa kesehariannya selalu berada di bawah teriknya matahari.
Dia adalah penjual es dawet ayu. Pastilah sudah banyak yang mengenal kuliner yang satu ini. Minuman cendol dengan santan yang dipermanis dengan air gula merah.
Mas Roy menamai es dawetnya dengan Es Dawet "Gentong". Karena wadah cendol dan santannya menggunakan gerabah gentong. Bahkan penyajiannya pun menggunakan mangkok yang terbuat dari tanah liat.
Saya bertemu dengannya pertama kali di Perpusda. Saat dirinya mengantarkan es dawet produksinya untuk acara pelatihan digital marketing. Namun informasi tentangnya sudah saya dapatkan sebelumnya dari pemateri pelatihan digimart, Pak Agung Wiendarto. Jadi, pertemuan kemarin saya manfaatkan untuk mengenal lebih jauh tentang Mas Roy.
Lelaki kelahiran Blitar, 33 tahun lalu itu lalu menceritakan sedikit kisah hidupnya. "Awalnya saya seorang sales sebuah perusahaan Mas," kata Mas Roy membuka pembicaraannya.
Namun, ada perintah dari perusahannya untuk pindah tugas ke luar Jawa. Karena merasa berat hati untuk hidup jauh dengan keluarganya, ia pun memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.
Setelah menekuni berbagai macam pekerjaan, sejak tiga tahun lalu dirinya mencoba berjualan es dawet ayu. Sehari-hari membuka usahanya di Dringu, sebelah barat Badan Diklat Kabupaten Probolinggo.
"Saya pernah memiliki 8 cabang, Mas. Tak hanya di Probolinggo. Saya juga buka cabang hingga Lumajang," ujarnya singkat.
"Tapi sekarang tinggal 1 gerobak ini yang saya kelola. Karyawan saya tidak amanah, Mas".
Menyadari bahwa setiap usaha pasti ada untung ruginya, ia pun mulai bangkit kembali. Selain di Dringu, saat ini dirinya akan memulai lagi 2 cabang di Probolinggo. Syukurlah.
Yang membuat saya tertarik dengan dirinya bukan sekedar kemampuannya untuk bangkit dari keterpurukan. Namun, dalam keadaan yang penuh keterbatasan, harus menghidupi keluarga dengan 2 orang anak, Mas Roy masih sempat peduli dan memikirkan orang lain.
Saat melayani pembeli, dirinya banyak melihat para orang tua tak menghiraukan keselamatan anak-anaknya. Sambil antri menunggu es dawet pesanannya, orang tua seringkali sibuk dengan hp di genggamannya. Padahal lokasi jualannya tepat di pinggir jalan utama pantura yang ramai kendaraan besar hilir mudik berlalu lalang.
"Daripada anak-anak berlarian di pinggir jalan sekitar gerobak, saya sediakan buku-buku untuk dibaca. Ternyata banyak yang suka, Mas," katanya.
Seiring berjalannya waktu, tak hanya anak-anak yang suka membaca buku-buku yang dia sediakan. Pembeli dari kalangan dewasa hingga orangtua pun sangat antusias dengan starteginya itu.
"Siapa yang suka baca buku sampeyan Mas," tanya saya.
"Awalnya yang tertarik baca buku hanya anak-anak saja, Mas. Tapi sekarang rata-rata pembeli, terutama yang ngandok (minum ditempat), mereka berlama-lama disini sambil baca buku."
"Penyediaan buku-buku itu bisa mendongkrak penjualan ga, Mas?"
"Iya, Mas. Banyak yang mengusulkan untuk ditambah judulnya karena banyak buku yang sudah selesai dibaca".
Tak kurang 30 judul buku dimiliki Mas Roy. Buku itu ia dapatkan dari temannya yang tinggal di Bogor. Dirinya berharap bisa mengembangkan layanan baca bukunya tersebut dengan adanya sarana tambahan yang lebih nyaman, misalnya rak buku dan alas duduk.
Selama ini buku-bukunya hanya ditaruh begitu saja di atas rumput. Tanpa ada alas untuk pembacanya.
Dirinya senang sekali bertemu dengan Perpusda. Berharap agar apa yang sudah ia lakukan bisa membantu meningkatkan minat baca masyarakat. Bisa memintarkan masyarakat melalui penyediaan bahan bacaan yang menarik.
Untuk mengembangkan usahanya, Mas Roy menargetkan agar bisa membuka minimal 10 cabang es dawet "Gentong". Selain itu, dirinya juga mulai merambah bisnis makanan yang lain. Salah satunya memproduksi sambal pecel Blitar dalam berbagai varian rasa. Mulai yang manis hingga pedas.
"Saya juga ingin buka warung makan Mas," pungkasnya.
Sebuah keinginan yang mungkin bagi sebagian orang begitu sederhana. Namun, melalui tangannya, dunia literasi di Probolinggo mulai menggeliat.
Ingin merasakan sensasi minum es dawet sambil baca buku? Langsung saja menuju lapak Mas Roy di Dringu.
Dirinya juga menyediakan layanan delivery order. Bagi yang berminat untuk memesan es cendolnya, hanya 4 ribu rupiah. Bisa menghubungi Mas Roy di nomor hp 0823-3062-9199.
Penulis : Hesthiyono S. Adhi
#PustakawanBegerak
#PustakawanBerkarya
#LiterasiUntukKesejahteraan
#PerpusdaKabProbolinggo
#ProbolinggoAsyik
#ProbolinggoHits
#MampirProbolinggoi
Demikianlah Artikel Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet
Sekianlah artikel Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2019/09/pelajaran-dari-seorang-penjual-dawet.html
0 Response to "Pelajaran dari Seorang Penjual Dawet"
Posting Komentar