Judul : Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista
link : Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista
Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista
On Eternal Patrol - KRI Nanggala 402 [@submarine.id] ★
"Berdasarkan bukti-bukti otentik tersebut, dapat dinyatakan bahwa KRI Nanggala telah tenggelam dan seluruh awaknya telah gugur."
Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam jumpa pers yang digelar jelang Magrib pada Sabtu (24/4).
Hari itu merupakan hari kelima setelah Kapal Selam KRI Nanggala 402 yang sudah menemani TNI AL selama kurang lebih 40 tahun itu, hilang kontak di perairan Bali.
Campur aduk perasaan saya setelah tahu 53 prajurit TNI AL itu dinyatakan gugur dalam tugas. Sejak meliput pemberitaan terkait KRI Nanggala yang tenggelam itu, saya optimistis dan selalu mengingatkan diri mereka akan selamat.
Namun, setelah tahu kapal itu terbelah menjadi tiga bagian di kedalaman 850 meter di bawah laut, kira-kira siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini?
Hemat saya, Kementerian Pertahanan punya peranan besar soal alutsista dan modernisasi peralatan setiap matra TNI. Mari mempersempit soal kebutuhan persenjataan untuk pertahanan negara setelah peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala.
Selama ini, TNI AL hanya memiliki lima kapal selam, dari yang seharusnya 12 unit, untuk menjaga lautan yang luas seluruh Nusantara. Lima kapal selam terhitung dengan masih adanya KRI Nanggala. Usai peristiwa tenggelamnya kapal selam itu, TNI kini hanya tersisa empat saja.
Kapal-kapal itu adalah KRI Cakra-401 yang sudah dioperasikan TNI sejak 40 tahun lalu, lainnya adalah KRI Nagapasa-403 buatan Korsel yang tiba di RI pada 8 Agustus 2017.
Ketiga adalah KRI Ardadedali-404 tak berbeda dengan Nagapasa, Ardadedali juga dibuat di Korsel, pembuatannya dilakukan dalam rangka kerja sama kedua negara dalam bidang pertahanan.
Terakhir, KRI Alugoro-405 yang baru saja diserahterimakan Kementerian Pertahanan ke TNI AL. Diproduksi oleh PT PAL dengan sistem pembuatan berupa skema transfer teknologi dengan perusahaan Korsel, Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co Ltd (DSME).
Lantas, apa peranan Menteri Pertahanan soal alutsista?
Setahu saya, Prabowo Subianto selaku Menhan sejak akhir 2019 lalu memang kerap melancong ke berbagai negara terkait dengan kerja sama di bidang pertahanan. Dia kerap menyatakan anggaran militer yang diolah kementeriannya tergolong kecil yang tentu berpengaruh pada pembelian alutsista dan kebutuhan lainnya.
Pada 2019 lalu, sebelum dia benar-benar diangkat menjadi Menhan, Prabowo menyinggung anggaran militer yang terlalu kecil.
"Di bidang pertahanan dan keamanan, kita terlalu lemah, anggaran kita terlalu kecil," kata Prabowo sebelum dirinya menjabat sebagai Menhan pada Oktober 2019.
Sementara Presiden Jokowi dalam Debat Capres 2019 lalu menyatakan keinginannya soal sistem transfer of knowledge dengan cara investasi bidang pertahanan.
"Artinya setiap anggaran yang ada di Kemhan itu harus kita pakai untuk membangun industri alutsista. Investasi di bidang pertahanan terus dilakukan saya yakin kita akan punya alutsista yang baik dan sekaligus punya teknologi dari yang sudah memiliki," kata presiden kala itu.
Jokowi juga menyebut anggaran Kemhan sudah cukup besar dan merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap sistem pertahanan negara.
"Mengenai anggaran. Perlu saya sampaikan, anggaran di Kemhan sekarang sudah Rp 107 triliun, nomor dua setelah Kementerian PU. Artinya perhatian kita terhadap pertahanan ini juga bukan main-main," katanya.
Namun sekarang, saya belum melihat apa yang menjadi prioritas kementerian itu dengan anggaran Rp 136 triliun pada 2021 atau naik dari Rp 131 triliun di tahun sebelumnya itu.
Alih-alih menggunakan anggaran yang sedikit itu untuk memenuhi kebutuhan alutsista, Prabowo justru gencar sekali dengan program Komponen Cadangan (Komcad) dan Food Estate.
Sekali lagi saya yang awam ini sebetulnya tak melihat urgensi pembentukan Komcad dan Food Estate.
Sebetulnya, anggaran Kemhan tak kecil-kecil amat. Selalu menempati urutan kedua sebagai kementerian dengan postur anggaran bengkak di Indonesia.
Selama kurang lebih lima tahun terakhir, kementerian yang kini dipimpin Prabowo memang kerap mendapat anggaran terbesar kedua.
Hal ini jelas terlihat melalui data APBN Kementerian Keuangan, belanja Kemenhan termasuk belanja kementerian yang terbesar dalam 5 tahun terakhir. Anggarannya pun selalu mendapat kenaikan setiap tahunnya.
Untuk tahun ini saja, Kemenhan mendapatkan alokasi pagu belanja sebesar Rp 136,99 triliun. Angka ini merupakan belanja terbesar kedua setelah Kementerian PUPR.
Khusus di bidang alutsista, Kemenhan mengalokasikan pengadaan alutsista sebesar Rp 9,3 triliun. Selain itu, Kemenhan berencana melakukan modernisasi serta pemeliharaan dan perawatan alutsista untuk TNI AD sebesar Rp 2,65 triliun, TNI AL Rp 3,75 triliun, dan TNI AU Rp 1,19 triliun.
Pada 2020, Kemenhan mendapatkan alokasi belanja sebesar Rp 131,3 triliun. Apabila ditengok berdasarkan program kerja kementerian, mayoritas dana tersebut digunakan untuk tiga program.
Ini meliputi program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat sebesar Rp 46,14 triliun, program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra laut Rp 12,62 triliun, program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kemenhan Rp 12,14 triliun.
Selain itu, Kemenhan juga mengalokasikan anggaran untuk alutsista.
Rinciannya, program modernisasi alutsista/ non-alutsista/ sarana dan prasarana integratif Rp 1,01 triliun, program modernisasi alutsista dan non alutsista/sarana dan prasarana matra darat Rp 5,06 triliun, matra laut Rp 2,77 triliun, dan matra udara Rp 2,19 triliun.
Sementara di 2019 masa awal Prabowo menjabat, Kementerian Keuangan menjatah Kemenhan sebesar Rp 108,4 triliun. Dengan anggaran tersebut, nyatanya perbaikan alutsista belum juga terlaksana secara maksimal.
Memang beberapa langkah sempat dilakukan Prabowo.
Salah satunya saat melobi jet tempur dari Austria. Tapi jet tempur jenis Eurofighter Typhoon yang harganya tak murah dan sudah tergolong tua itu juga bukan barang baru, melainkan bekas dipakai kurang lebih 10 tahunan. Rencana ini pun dapat kritik keras dari kalangan masyarakat sipil.
Target Modernisasi Alutsista Tak Tercapai
Ilustrasi pesawat F5 Tiger TNI AU yang belum tergantikan [TNI AU] 🛩
Selain kapal selam, sedihnya lagi Indonesia tak memiliki kapal penyelamat seperti yang dimiliki Malaysia dan Singapura.
Saya ketahui soal ini atas pernyataan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI Julius Widjojono saat berbincang di telepon baru-baru ini.
Dia menyatakan kapal penyelamat memang tak dimiliki Indonesia, satu pun tak ada.
"Enggak, kita tuh memang enggak punya kapal rescue, kapal penyelamat itu memang gak punya," kata Julius.
Saya kira, sudah saatnya Indonesia berpikir soal peremajaan alutsista dengan berhenti menggunakan barang-barang bekas dan tua.
Sebenarnya, pemerintah pernah mencanangkan soal modernisasi alutsista ini melalui Minimum Essential Force (MEF) atau Kebutuhan Pokok Minimum sejak 2007 lalu.
MEF dibagi ke beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. Tahap I dimulai pada 2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024.
Harapannya MEF ini sudah bisa terpenuhi 100 persen pada 2024, mungkin saat Pak Jokowi lengser dari jabatan presidennya. Sayangnya, asa tak sama dengan kenyataannya. Hal ini terungkap dari hasil kajian yang dilakukan Pusat Kajian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Dari kajian ini diketahui, capaian MEF tahap II saja ternyata masih mandek padahal tenggat waktu pemenuhan 100 persen itu tinggal tiga tahun lagi. Pada 2019 saja yang terpenuhi baru 63,18 persen, padahal targetnya mesti terpenuhi sekitar 75,54 persen.
Apa mau dikata, memang progres pemenuhan target MEF sepanjang tahap II bisa dibilang minim. Pada 2014, MEF berada pada 54,97 persen. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun pemenuhan alutsista hanya meningkat 8,22 persen.
"Percepatan pemenuhan MEF sangat dibutuhkan, mengingat hingga tahap II realisasi pemenuhan MEF masih di bawah dari target yang ditetapkan," tulis Pusat Kajian Anggaran pada 5 April lalu.
Dalam dokumen itu, pemenuhan MEF untuk TNI AL saja baru tercapai 67,57 persen. Soal anggaran pertahanan, Indonesia kalah jauh dengan negara tetangga, Singapura.
Anggaran pertahanan Indonesia rata-rata per tahun hanya berkisar di angka Rp 110,4 triliun.
Sementara Singapura, dengan jumlah penduduk hanya 5,9 juta jiwa atau lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta, dan 72.500 personel militer aktif serta 312.500 personel cadangan, anggaran militernya rata-rata mencapai US$ 11,20 miliar atau Rp 162,7 triliun.
Dan akhirnya saya berharap, 53 prajurit TNI AL yang bertugas abadi di kedalaman 830 meter perairan Bali itu jadi pengingat kebutuhan alutsista Indonesia bukan hanya di lisan saja, tetapi diperjuangkan sepenuh hati. (tst/asa)
DPR Sebut TNI Tak Utamakan Alutsista di 2021
Ilustrasi frigat Iver Huitfield yang belum terealisasi [Brian Aitkenhead] ⚓
TNI disebut tak memprioritaskan pembenahan alat utama sistem senjata (alutsista). Target persenjataan pokok minimal atau Minimum Essential Force (MEF) tahap III pun diragukan bisa mencapai target pada 2024.
Dalam Rapat Panitia Kerja Alutsista Komisi I DPR RI pada 21 Maret 2021, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem M. Farhan menyebut TNI memprioritaskan anggaran untuk dukungan operasi pasukan penjaga perdamaian.
Selain itu, peningkatan fasilitas komunikasi elektronik, dan peningkatan kapasitas fasilitas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan.
"Itu yang prioritas yang lagi diutamakan, enggak ada satu pun poin tentang pengadaan maupun maintenance (alutsista)," kata Farhan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (27/4).
Ia mengatakan memang masih ada penganggaran alutsista meski nilainya jauh dari ideal, yakni Rp 22 triliun untuk tahun ini.
Tahun sebelumnya, kata dia, anggaran alutsista TNI mencapai Rp 13 triliun. Namun, TNI tak belanja alutsista sama sekali karena anggaran itu direalokasi untuk penanganan pandemi Covid-19.
Pada tahun ini, anggaran alutsista disetujui di angka Rp 22 triliun. Jumlah itu hanya 16,5 persen dari total anggaran Kementerian Pertahanan.
Farhan pun ragu target MEF Tahap III yang berakhir pada 2024 akan tercapai. Menurutnya, belanja alutsista dua tahun terakhir di bawah standar 20 persen dari anggaran per tahun.
"Pencapaian MEF yang dalam 2 tahun ini kurang dari 20 persen, 2020 dan 2021 kurang dari 20 persen. Padahal, tiap tahun minimal 20 persen," kata dia.
"Sekarang itu kayaknya hampir tidak mungkin untuk mencapai roadmap ke MEF 2024 dengan pola sekarang," lanjut Farhan.
CNNIndonesia.com coba meminta konfirmasi terkait pernyataan Farhan ke Mabes TNI. Namun, hingga berita ini tayang, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Ahmad Riad tak merespons permintaan wawancara.
Isu alutsista jadi sorotan publik usai insiden KRI Nanggala 402. Kapal berumur lebih dari 40 tahun itu masih beroperasi dan akhirnya karam di perairan Bali.
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi menilai anggaran fantastis Kemenhan tak tercermin dalam belanja alutsista. Dia melihat anggaran Kemenhan lebih banyak terserap untuk belanja pegawai.
Hadi menyebut anggaran belanja pegawai Kemenhan mencapai 53 persen atau sekitar Rp 57,03 triliun. Adapun anggaran alutsista di Kemenhan hanya Rp 43,1 triliun.
"Saya kira, sampai hari ini publik masih menunggu kiprah Menhan karena sejak dilantik hampir tidak kelihatan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil untuk pertahanan negara. Tentu banyak yang berharap dengan latar belakang tentara dan beberapa kritiknya soal pertahanan negara, setidaknya saat capres," tutur Hadi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/4).
Terpisah, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut Indonesia minimal harus mempunyai 12 kapal selam. Sebab, Indonesia mempunyai tiga jalur laut yang harus diamankan.
"12 bukan ideal, itu kebutuhan pokok minimal. Idealnya dua kali lipat dari itu," ucap dia, dalam wawancara bersama CNN Indonesia TV, Senin (26/4).
Sayangnya, jumlah kapal selam di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Indonesia kini hanya mempunyai empat kapal selam setelah kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam di perairan laut Bali pada Minggu (25/4) kemarin.
Satu di antaranya, kata dia, sudah seusia dengan KRI Nanggala. Sementara, tiga kapal selam lainnya dari Korea Selatan belum optimal penggunaannya sampai saat ini.
Mafia Alutsista
Ilustrasi rantis Maung Pindad [Pindad] ♘
Sebelumnya, pengamat militer Connie Rahakundini Bakri menyebut sosok berinisial M menjadi mafia bisnis dalam pengadaan alutsista TNI. Dia tidak merinci lebih jauh. Namun, ia sempat menyinggung proyek kendaraan taktis (rantis) Maung yang digagas Kemhan.
"Saya juga menemukan dan siapa yang mau buka. Menurut saya ini bagian dari korupsi. Jangan salah lho, pertama dia beli Hilux utuh, yang diambil hanya sasis, kemudian yang lain-lain dijual kembali. Padahal yang di-charge itu harga satu mobil itu. Kemudian saya pernah lihat 200 mobil [Hilux] yang datang," ucap Connie dalam diskusi medcom.id yang berlangsung daring, Minggu (26/4).
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi meminta Kementerian Pertahanan dan TNI segera merespons dugaan keberadaan keberadaan mafia bisnis alutsista ini.
"Memang sebaiknya segera direspons, karena ini kan pernyataan dari masyarakat sipil, sedangkan alutsista adalah lingkup pertahanan dengan kerahasiaan tinggi, agar jangan ada keraguan dari masyarakat atas pengelolaan sektor ini yang tugas utamanya memang melindungi masyarakat itu sendiri," kata Bobby kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/4).
Dia menyampaikan, Komisi I DPR kemungkinan tidak akan mempertanyakan soal dugaan itu dalam rapat kerja dengan Menhan Prabowo Subianto dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Bobby menerangkan, fokus Komisi I DPR adalah soal penyerapan anggaran dan pemenuhan postur pertahanan. Menurutnya, fungsi anggaran DPR sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi tidak menbahas hingga ke satuan tiga.
"Dalam lingkup tugas fungsi penganggaran DPR sesuai keputusan MK tahun 2014, tidak membahas satuan tiga atau detail, hanya program. Jadi misalnya jenis alutsistanya kapal selam, Komisi I DPR hanya memberikan persetujuan program saja, tapi apakah pengadaan kapal tersebut tipe U 209, kilo class atau archenger, itu domain eksekutif," dalihnya. (dhf/yla/mts/arh)(CNN)
"Berdasarkan bukti-bukti otentik tersebut, dapat dinyatakan bahwa KRI Nanggala telah tenggelam dan seluruh awaknya telah gugur."
Pernyataan itu disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam jumpa pers yang digelar jelang Magrib pada Sabtu (24/4).
Hari itu merupakan hari kelima setelah Kapal Selam KRI Nanggala 402 yang sudah menemani TNI AL selama kurang lebih 40 tahun itu, hilang kontak di perairan Bali.
Campur aduk perasaan saya setelah tahu 53 prajurit TNI AL itu dinyatakan gugur dalam tugas. Sejak meliput pemberitaan terkait KRI Nanggala yang tenggelam itu, saya optimistis dan selalu mengingatkan diri mereka akan selamat.
Namun, setelah tahu kapal itu terbelah menjadi tiga bagian di kedalaman 850 meter di bawah laut, kira-kira siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini?
Hemat saya, Kementerian Pertahanan punya peranan besar soal alutsista dan modernisasi peralatan setiap matra TNI. Mari mempersempit soal kebutuhan persenjataan untuk pertahanan negara setelah peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala.
Selama ini, TNI AL hanya memiliki lima kapal selam, dari yang seharusnya 12 unit, untuk menjaga lautan yang luas seluruh Nusantara. Lima kapal selam terhitung dengan masih adanya KRI Nanggala. Usai peristiwa tenggelamnya kapal selam itu, TNI kini hanya tersisa empat saja.
Kapal-kapal itu adalah KRI Cakra-401 yang sudah dioperasikan TNI sejak 40 tahun lalu, lainnya adalah KRI Nagapasa-403 buatan Korsel yang tiba di RI pada 8 Agustus 2017.
Ketiga adalah KRI Ardadedali-404 tak berbeda dengan Nagapasa, Ardadedali juga dibuat di Korsel, pembuatannya dilakukan dalam rangka kerja sama kedua negara dalam bidang pertahanan.
Terakhir, KRI Alugoro-405 yang baru saja diserahterimakan Kementerian Pertahanan ke TNI AL. Diproduksi oleh PT PAL dengan sistem pembuatan berupa skema transfer teknologi dengan perusahaan Korsel, Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co Ltd (DSME).
Lantas, apa peranan Menteri Pertahanan soal alutsista?
Setahu saya, Prabowo Subianto selaku Menhan sejak akhir 2019 lalu memang kerap melancong ke berbagai negara terkait dengan kerja sama di bidang pertahanan. Dia kerap menyatakan anggaran militer yang diolah kementeriannya tergolong kecil yang tentu berpengaruh pada pembelian alutsista dan kebutuhan lainnya.
Pada 2019 lalu, sebelum dia benar-benar diangkat menjadi Menhan, Prabowo menyinggung anggaran militer yang terlalu kecil.
"Di bidang pertahanan dan keamanan, kita terlalu lemah, anggaran kita terlalu kecil," kata Prabowo sebelum dirinya menjabat sebagai Menhan pada Oktober 2019.
Sementara Presiden Jokowi dalam Debat Capres 2019 lalu menyatakan keinginannya soal sistem transfer of knowledge dengan cara investasi bidang pertahanan.
"Artinya setiap anggaran yang ada di Kemhan itu harus kita pakai untuk membangun industri alutsista. Investasi di bidang pertahanan terus dilakukan saya yakin kita akan punya alutsista yang baik dan sekaligus punya teknologi dari yang sudah memiliki," kata presiden kala itu.
Jokowi juga menyebut anggaran Kemhan sudah cukup besar dan merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap sistem pertahanan negara.
"Mengenai anggaran. Perlu saya sampaikan, anggaran di Kemhan sekarang sudah Rp 107 triliun, nomor dua setelah Kementerian PU. Artinya perhatian kita terhadap pertahanan ini juga bukan main-main," katanya.
Namun sekarang, saya belum melihat apa yang menjadi prioritas kementerian itu dengan anggaran Rp 136 triliun pada 2021 atau naik dari Rp 131 triliun di tahun sebelumnya itu.
Alih-alih menggunakan anggaran yang sedikit itu untuk memenuhi kebutuhan alutsista, Prabowo justru gencar sekali dengan program Komponen Cadangan (Komcad) dan Food Estate.
Sekali lagi saya yang awam ini sebetulnya tak melihat urgensi pembentukan Komcad dan Food Estate.
Sebetulnya, anggaran Kemhan tak kecil-kecil amat. Selalu menempati urutan kedua sebagai kementerian dengan postur anggaran bengkak di Indonesia.
Selama kurang lebih lima tahun terakhir, kementerian yang kini dipimpin Prabowo memang kerap mendapat anggaran terbesar kedua.
Hal ini jelas terlihat melalui data APBN Kementerian Keuangan, belanja Kemenhan termasuk belanja kementerian yang terbesar dalam 5 tahun terakhir. Anggarannya pun selalu mendapat kenaikan setiap tahunnya.
Untuk tahun ini saja, Kemenhan mendapatkan alokasi pagu belanja sebesar Rp 136,99 triliun. Angka ini merupakan belanja terbesar kedua setelah Kementerian PUPR.
Khusus di bidang alutsista, Kemenhan mengalokasikan pengadaan alutsista sebesar Rp 9,3 triliun. Selain itu, Kemenhan berencana melakukan modernisasi serta pemeliharaan dan perawatan alutsista untuk TNI AD sebesar Rp 2,65 triliun, TNI AL Rp 3,75 triliun, dan TNI AU Rp 1,19 triliun.
Pada 2020, Kemenhan mendapatkan alokasi belanja sebesar Rp 131,3 triliun. Apabila ditengok berdasarkan program kerja kementerian, mayoritas dana tersebut digunakan untuk tiga program.
Ini meliputi program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat sebesar Rp 46,14 triliun, program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra laut Rp 12,62 triliun, program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kemenhan Rp 12,14 triliun.
Selain itu, Kemenhan juga mengalokasikan anggaran untuk alutsista.
Rinciannya, program modernisasi alutsista/ non-alutsista/ sarana dan prasarana integratif Rp 1,01 triliun, program modernisasi alutsista dan non alutsista/sarana dan prasarana matra darat Rp 5,06 triliun, matra laut Rp 2,77 triliun, dan matra udara Rp 2,19 triliun.
Sementara di 2019 masa awal Prabowo menjabat, Kementerian Keuangan menjatah Kemenhan sebesar Rp 108,4 triliun. Dengan anggaran tersebut, nyatanya perbaikan alutsista belum juga terlaksana secara maksimal.
Memang beberapa langkah sempat dilakukan Prabowo.
Salah satunya saat melobi jet tempur dari Austria. Tapi jet tempur jenis Eurofighter Typhoon yang harganya tak murah dan sudah tergolong tua itu juga bukan barang baru, melainkan bekas dipakai kurang lebih 10 tahunan. Rencana ini pun dapat kritik keras dari kalangan masyarakat sipil.
Target Modernisasi Alutsista Tak Tercapai
Ilustrasi pesawat F5 Tiger TNI AU yang belum tergantikan [TNI AU] 🛩
Selain kapal selam, sedihnya lagi Indonesia tak memiliki kapal penyelamat seperti yang dimiliki Malaysia dan Singapura.
Saya ketahui soal ini atas pernyataan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI Julius Widjojono saat berbincang di telepon baru-baru ini.
Dia menyatakan kapal penyelamat memang tak dimiliki Indonesia, satu pun tak ada.
"Enggak, kita tuh memang enggak punya kapal rescue, kapal penyelamat itu memang gak punya," kata Julius.
Saya kira, sudah saatnya Indonesia berpikir soal peremajaan alutsista dengan berhenti menggunakan barang-barang bekas dan tua.
Sebenarnya, pemerintah pernah mencanangkan soal modernisasi alutsista ini melalui Minimum Essential Force (MEF) atau Kebutuhan Pokok Minimum sejak 2007 lalu.
MEF dibagi ke beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. Tahap I dimulai pada 2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024.
Harapannya MEF ini sudah bisa terpenuhi 100 persen pada 2024, mungkin saat Pak Jokowi lengser dari jabatan presidennya. Sayangnya, asa tak sama dengan kenyataannya. Hal ini terungkap dari hasil kajian yang dilakukan Pusat Kajian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Dari kajian ini diketahui, capaian MEF tahap II saja ternyata masih mandek padahal tenggat waktu pemenuhan 100 persen itu tinggal tiga tahun lagi. Pada 2019 saja yang terpenuhi baru 63,18 persen, padahal targetnya mesti terpenuhi sekitar 75,54 persen.
Apa mau dikata, memang progres pemenuhan target MEF sepanjang tahap II bisa dibilang minim. Pada 2014, MEF berada pada 54,97 persen. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun pemenuhan alutsista hanya meningkat 8,22 persen.
"Percepatan pemenuhan MEF sangat dibutuhkan, mengingat hingga tahap II realisasi pemenuhan MEF masih di bawah dari target yang ditetapkan," tulis Pusat Kajian Anggaran pada 5 April lalu.
Dalam dokumen itu, pemenuhan MEF untuk TNI AL saja baru tercapai 67,57 persen. Soal anggaran pertahanan, Indonesia kalah jauh dengan negara tetangga, Singapura.
Anggaran pertahanan Indonesia rata-rata per tahun hanya berkisar di angka Rp 110,4 triliun.
Sementara Singapura, dengan jumlah penduduk hanya 5,9 juta jiwa atau lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta, dan 72.500 personel militer aktif serta 312.500 personel cadangan, anggaran militernya rata-rata mencapai US$ 11,20 miliar atau Rp 162,7 triliun.
Dan akhirnya saya berharap, 53 prajurit TNI AL yang bertugas abadi di kedalaman 830 meter perairan Bali itu jadi pengingat kebutuhan alutsista Indonesia bukan hanya di lisan saja, tetapi diperjuangkan sepenuh hati. (tst/asa)
DPR Sebut TNI Tak Utamakan Alutsista di 2021
Ilustrasi frigat Iver Huitfield yang belum terealisasi [Brian Aitkenhead] ⚓
TNI disebut tak memprioritaskan pembenahan alat utama sistem senjata (alutsista). Target persenjataan pokok minimal atau Minimum Essential Force (MEF) tahap III pun diragukan bisa mencapai target pada 2024.
Dalam Rapat Panitia Kerja Alutsista Komisi I DPR RI pada 21 Maret 2021, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem M. Farhan menyebut TNI memprioritaskan anggaran untuk dukungan operasi pasukan penjaga perdamaian.
Selain itu, peningkatan fasilitas komunikasi elektronik, dan peningkatan kapasitas fasilitas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan.
"Itu yang prioritas yang lagi diutamakan, enggak ada satu pun poin tentang pengadaan maupun maintenance (alutsista)," kata Farhan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (27/4).
Ia mengatakan memang masih ada penganggaran alutsista meski nilainya jauh dari ideal, yakni Rp 22 triliun untuk tahun ini.
Tahun sebelumnya, kata dia, anggaran alutsista TNI mencapai Rp 13 triliun. Namun, TNI tak belanja alutsista sama sekali karena anggaran itu direalokasi untuk penanganan pandemi Covid-19.
Pada tahun ini, anggaran alutsista disetujui di angka Rp 22 triliun. Jumlah itu hanya 16,5 persen dari total anggaran Kementerian Pertahanan.
Farhan pun ragu target MEF Tahap III yang berakhir pada 2024 akan tercapai. Menurutnya, belanja alutsista dua tahun terakhir di bawah standar 20 persen dari anggaran per tahun.
"Pencapaian MEF yang dalam 2 tahun ini kurang dari 20 persen, 2020 dan 2021 kurang dari 20 persen. Padahal, tiap tahun minimal 20 persen," kata dia.
"Sekarang itu kayaknya hampir tidak mungkin untuk mencapai roadmap ke MEF 2024 dengan pola sekarang," lanjut Farhan.
CNNIndonesia.com coba meminta konfirmasi terkait pernyataan Farhan ke Mabes TNI. Namun, hingga berita ini tayang, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Ahmad Riad tak merespons permintaan wawancara.
Isu alutsista jadi sorotan publik usai insiden KRI Nanggala 402. Kapal berumur lebih dari 40 tahun itu masih beroperasi dan akhirnya karam di perairan Bali.
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi menilai anggaran fantastis Kemenhan tak tercermin dalam belanja alutsista. Dia melihat anggaran Kemenhan lebih banyak terserap untuk belanja pegawai.
Hadi menyebut anggaran belanja pegawai Kemenhan mencapai 53 persen atau sekitar Rp 57,03 triliun. Adapun anggaran alutsista di Kemenhan hanya Rp 43,1 triliun.
"Saya kira, sampai hari ini publik masih menunggu kiprah Menhan karena sejak dilantik hampir tidak kelihatan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil untuk pertahanan negara. Tentu banyak yang berharap dengan latar belakang tentara dan beberapa kritiknya soal pertahanan negara, setidaknya saat capres," tutur Hadi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/4).
Terpisah, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut Indonesia minimal harus mempunyai 12 kapal selam. Sebab, Indonesia mempunyai tiga jalur laut yang harus diamankan.
"12 bukan ideal, itu kebutuhan pokok minimal. Idealnya dua kali lipat dari itu," ucap dia, dalam wawancara bersama CNN Indonesia TV, Senin (26/4).
Sayangnya, jumlah kapal selam di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Indonesia kini hanya mempunyai empat kapal selam setelah kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam di perairan laut Bali pada Minggu (25/4) kemarin.
Satu di antaranya, kata dia, sudah seusia dengan KRI Nanggala. Sementara, tiga kapal selam lainnya dari Korea Selatan belum optimal penggunaannya sampai saat ini.
Mafia Alutsista
Ilustrasi rantis Maung Pindad [Pindad] ♘
Sebelumnya, pengamat militer Connie Rahakundini Bakri menyebut sosok berinisial M menjadi mafia bisnis dalam pengadaan alutsista TNI. Dia tidak merinci lebih jauh. Namun, ia sempat menyinggung proyek kendaraan taktis (rantis) Maung yang digagas Kemhan.
"Saya juga menemukan dan siapa yang mau buka. Menurut saya ini bagian dari korupsi. Jangan salah lho, pertama dia beli Hilux utuh, yang diambil hanya sasis, kemudian yang lain-lain dijual kembali. Padahal yang di-charge itu harga satu mobil itu. Kemudian saya pernah lihat 200 mobil [Hilux] yang datang," ucap Connie dalam diskusi medcom.id yang berlangsung daring, Minggu (26/4).
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi meminta Kementerian Pertahanan dan TNI segera merespons dugaan keberadaan keberadaan mafia bisnis alutsista ini.
"Memang sebaiknya segera direspons, karena ini kan pernyataan dari masyarakat sipil, sedangkan alutsista adalah lingkup pertahanan dengan kerahasiaan tinggi, agar jangan ada keraguan dari masyarakat atas pengelolaan sektor ini yang tugas utamanya memang melindungi masyarakat itu sendiri," kata Bobby kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/4).
Dia menyampaikan, Komisi I DPR kemungkinan tidak akan mempertanyakan soal dugaan itu dalam rapat kerja dengan Menhan Prabowo Subianto dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Bobby menerangkan, fokus Komisi I DPR adalah soal penyerapan anggaran dan pemenuhan postur pertahanan. Menurutnya, fungsi anggaran DPR sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi tidak menbahas hingga ke satuan tiga.
"Dalam lingkup tugas fungsi penganggaran DPR sesuai keputusan MK tahun 2014, tidak membahas satuan tiga atau detail, hanya program. Jadi misalnya jenis alutsistanya kapal selam, Komisi I DPR hanya memberikan persetujuan program saja, tapi apakah pengadaan kapal tersebut tipe U 209, kilo class atau archenger, itu domain eksekutif," dalihnya. (dhf/yla/mts/arh)(CNN)
★ CNN
Demikianlah Artikel Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista
Sekianlah artikel Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2021/05/nanggala-dan-pengingat-abadi-krisis.html
0 Response to "Nanggala dan Pengingat Abadi Krisis Alutsista"
Posting Komentar