Judul : Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan
link : Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan
Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan
Opini oleh Alman Helvas Ali CN235 MPA TNI AU [TNI AU] ✈
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini sedang mempersiapkan pembentukan holding BUMN Pertahanan yang terdiri dari PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT LEN Industri, PT Dahana dan PT PAL Indonesia dengan PT LEN Industri sebagai induk holding. Tujuh Project Management Office telah dibentuk guna melancarkan pembentukan holding tersebut.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dapat dipastikan bahwa PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT Dahana dan PT PAL Indonesia akan menjadi anak usaha PT LEN Industri. Meskipun demikian, pengendalian negara terhadap anggota holding tidak berubah, baik secara langsung (melalui kepemilikan saham Seri A Dwiwarna) maupun secara tidak langsung (melalui PT LEN Industri).
Walaupun holding BUMN industri pertahanan belum secara resmi terbentuk, Kementerian BUMN telah memberikan target ambisius kepada holding tersebut, yakni masuk dalam Top 50 Global Defense Companies pada 2024.
Apakah target tersebut dapat tercapai pada 2024?
Tulisan ini akan membedah hal-hal yang terkait kinerja BUMN industri pertahanan dikaitkan dengan target Top 50 Global Defense Companies.
Pertama, kemampuan belanja pertahanan. Belanja pertahanan Indonesia dapat dilihat dari alokasi pada Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN). Potensi pendapatan holding BUMN industri pertahanan akan selalu bergantung dari Rupiah Murni dan PDN.
Rupiah Murni pada tahun anggaran 2021 untuk pagu belanja pertahanan sebesar Rp 136,9 triliun, dengan alokasi pengadaan alutsista hanya Rp 9,3 triliun. Adapun pagu PDN 2020-2024 dalam Daftar Kegiatan Prioritas Pinjaman Dalam Negeri bagi Kementerian Pertahanan yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas adalah Rp 31,9 triliun.
Holding BUMN Pertahanan berpotensi meraup pendapatan dari program offset lewat mekanisme pengadaan yang dibiayai PLN, namun nilainya tergantung pada seberapa besar Indonesia mampu menyerap offset. Janes memproyeksikan peluang offset untuk Indonesia selama periode 2021-2030 adalah US$ 18 miliar.
Terkait potensi pendapatan dari Rupiah Murni dan PDN, holding BUMN industri pertahanan pun harus bersaing dengan industri pertahanan swasta. Tidak ada jaminan bahwa pagu PDN senilai Rp 31,9 triliun akan semuanya mengalir ke kas holding tersebut.
Kedua, pasar holding BUMN Pertahanan. Suatu fakta yang menyedihkan bahwa mayoritas anggota holding tersebut adalah pemain domestik, kecuali PT Dirgantara Indonesia yang mengandalkan pendapatan dari pasar internasional. PT Pindad memang mengekspor amunisi dan senapan serbu ke beberapa negara, namun nilainya kecil dan sekaligus tidak dapat dipandang sebagai ekspor strategis seperti halnya major defense systems (pesawat udara dan kapal perang). Sedangkan PT PAL Indonesia cuma sekali berhasil mengekspor kapal perang tipe LPD ke Filipina, sementara wacana mengekspor Offshore Patrol Vessel 60 ke pasar Afrika Barat hingga kini tidak pernah terwujud.
Industri pertahanan Indonesia, baik berdiri sendiri maupun holding, tidak akan pernah bisa maju secara teknologi dan finansial apabila hanya mengandalkan pada pasar domestik. Pemerintah Indonesia tidak memiliki daya serap besar terhadap produk-produk industri pertahanan nasional karena kemampuan belanja senjata pada Rupiah Murni dan PDN memang terbatas.
Produk industri pertahanan yang berkategori major defense systems tidak akan mencapai break event point (BEP), apalagi keuntungan, bila hanya mengandalkan pasar domestik. Sementara daya saing mayoritas industri pertahanan Indonesia, termasuk BUMN, di pasar internasional masih diragukan.
Ketiga, pendapatan holding BUMN pertahanan. Terkait dengan ambisi Top 50 Global Defense Companies, parameter peringkat itu adalah pendapatan yang dihitung hanya berasal dari kinerja lini bisnis pertahanan dengan mengacu pada daftar yang diterbitkan oleh Defense News. Sehingga pendapatan Original Equipment Manufacturer seperti Boeing dan Airbus yang dihitung dalam Top 100 Global Defense Companies tidak mencakup penjualan pesawat komersial seperti Boeing B777 dan Airbus A350 kepada perusahaan penerbangan dan lessors. Tidak dapat dimungkiri, sebagian besar perusahaan yang masuk dalam Top 100 Global Defense Companies memiliki lini bisnis yang menggabungkan antara bisnis pertahanan dan bisnis komersial.
Mengacu pada laporan keuangan 2019 teraudit milik PT Pindad, PT LEN Industri, PT Dahana dan PT PAL Indonesia, nilai pendapatan dari lini bisnis pertahanan keempat BUMN sekitar Rp 4,6 triliun. Sementara data nilai pendapatan lini bisnis pertahanan PT Dirgantara tidak tersedia, kecuali pendapatan total perseroan sebesar US$ 257,9 juta dalam laporan keuangan teraudit 2019. Dengan asumsi kasar bahwa PT Dirgantara Indonesia meraih Rp 1 triliun dari lini bisnis pertahanan, maka total pendapatan kelima BUMN industri pertahanan pada 2019 sekitar Rp 5,6 triliun atau setara dengan US$ 386 juta saat ini.
TransDigm merupakan firma Amerika Serikat yang menduduki peringkat 50 dalam Top 100 Global Defense Companies tahun ini dengan nilai pendapatan dari lini bisnis pertahanan sebesar US$ 2,1 miliar.
Merupakan suatu tantangan besar bagi holding BUMN Pertahanan untuk dapat meningkatkan pendapatan dari lini bisnis pertahanan yang pada 2019 bernilai US$ 386 juta menjadi setidaknya U$ 2 miliar pada 2024. Dengan karakter holding BUMN industri pertahanan yang mengandalkan pasar domestik, menaikkan pendapatan menjadi US$ 2 miliar sehingga berada pada posisi Top 50 Global Defense Companies pada 2024 adalah mission impossible. (miq/miq)
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini sedang mempersiapkan pembentukan holding BUMN Pertahanan yang terdiri dari PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT LEN Industri, PT Dahana dan PT PAL Indonesia dengan PT LEN Industri sebagai induk holding. Tujuh Project Management Office telah dibentuk guna melancarkan pembentukan holding tersebut.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dapat dipastikan bahwa PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT Dahana dan PT PAL Indonesia akan menjadi anak usaha PT LEN Industri. Meskipun demikian, pengendalian negara terhadap anggota holding tidak berubah, baik secara langsung (melalui kepemilikan saham Seri A Dwiwarna) maupun secara tidak langsung (melalui PT LEN Industri).
Walaupun holding BUMN industri pertahanan belum secara resmi terbentuk, Kementerian BUMN telah memberikan target ambisius kepada holding tersebut, yakni masuk dalam Top 50 Global Defense Companies pada 2024.
Apakah target tersebut dapat tercapai pada 2024?
Tulisan ini akan membedah hal-hal yang terkait kinerja BUMN industri pertahanan dikaitkan dengan target Top 50 Global Defense Companies.
Pertama, kemampuan belanja pertahanan. Belanja pertahanan Indonesia dapat dilihat dari alokasi pada Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN). Potensi pendapatan holding BUMN industri pertahanan akan selalu bergantung dari Rupiah Murni dan PDN.
Rupiah Murni pada tahun anggaran 2021 untuk pagu belanja pertahanan sebesar Rp 136,9 triliun, dengan alokasi pengadaan alutsista hanya Rp 9,3 triliun. Adapun pagu PDN 2020-2024 dalam Daftar Kegiatan Prioritas Pinjaman Dalam Negeri bagi Kementerian Pertahanan yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas adalah Rp 31,9 triliun.
Holding BUMN Pertahanan berpotensi meraup pendapatan dari program offset lewat mekanisme pengadaan yang dibiayai PLN, namun nilainya tergantung pada seberapa besar Indonesia mampu menyerap offset. Janes memproyeksikan peluang offset untuk Indonesia selama periode 2021-2030 adalah US$ 18 miliar.
Terkait potensi pendapatan dari Rupiah Murni dan PDN, holding BUMN industri pertahanan pun harus bersaing dengan industri pertahanan swasta. Tidak ada jaminan bahwa pagu PDN senilai Rp 31,9 triliun akan semuanya mengalir ke kas holding tersebut.
Kedua, pasar holding BUMN Pertahanan. Suatu fakta yang menyedihkan bahwa mayoritas anggota holding tersebut adalah pemain domestik, kecuali PT Dirgantara Indonesia yang mengandalkan pendapatan dari pasar internasional. PT Pindad memang mengekspor amunisi dan senapan serbu ke beberapa negara, namun nilainya kecil dan sekaligus tidak dapat dipandang sebagai ekspor strategis seperti halnya major defense systems (pesawat udara dan kapal perang). Sedangkan PT PAL Indonesia cuma sekali berhasil mengekspor kapal perang tipe LPD ke Filipina, sementara wacana mengekspor Offshore Patrol Vessel 60 ke pasar Afrika Barat hingga kini tidak pernah terwujud.
Industri pertahanan Indonesia, baik berdiri sendiri maupun holding, tidak akan pernah bisa maju secara teknologi dan finansial apabila hanya mengandalkan pada pasar domestik. Pemerintah Indonesia tidak memiliki daya serap besar terhadap produk-produk industri pertahanan nasional karena kemampuan belanja senjata pada Rupiah Murni dan PDN memang terbatas.
Produk industri pertahanan yang berkategori major defense systems tidak akan mencapai break event point (BEP), apalagi keuntungan, bila hanya mengandalkan pasar domestik. Sementara daya saing mayoritas industri pertahanan Indonesia, termasuk BUMN, di pasar internasional masih diragukan.
Ketiga, pendapatan holding BUMN pertahanan. Terkait dengan ambisi Top 50 Global Defense Companies, parameter peringkat itu adalah pendapatan yang dihitung hanya berasal dari kinerja lini bisnis pertahanan dengan mengacu pada daftar yang diterbitkan oleh Defense News. Sehingga pendapatan Original Equipment Manufacturer seperti Boeing dan Airbus yang dihitung dalam Top 100 Global Defense Companies tidak mencakup penjualan pesawat komersial seperti Boeing B777 dan Airbus A350 kepada perusahaan penerbangan dan lessors. Tidak dapat dimungkiri, sebagian besar perusahaan yang masuk dalam Top 100 Global Defense Companies memiliki lini bisnis yang menggabungkan antara bisnis pertahanan dan bisnis komersial.
Mengacu pada laporan keuangan 2019 teraudit milik PT Pindad, PT LEN Industri, PT Dahana dan PT PAL Indonesia, nilai pendapatan dari lini bisnis pertahanan keempat BUMN sekitar Rp 4,6 triliun. Sementara data nilai pendapatan lini bisnis pertahanan PT Dirgantara tidak tersedia, kecuali pendapatan total perseroan sebesar US$ 257,9 juta dalam laporan keuangan teraudit 2019. Dengan asumsi kasar bahwa PT Dirgantara Indonesia meraih Rp 1 triliun dari lini bisnis pertahanan, maka total pendapatan kelima BUMN industri pertahanan pada 2019 sekitar Rp 5,6 triliun atau setara dengan US$ 386 juta saat ini.
TransDigm merupakan firma Amerika Serikat yang menduduki peringkat 50 dalam Top 100 Global Defense Companies tahun ini dengan nilai pendapatan dari lini bisnis pertahanan sebesar US$ 2,1 miliar.
Merupakan suatu tantangan besar bagi holding BUMN Pertahanan untuk dapat meningkatkan pendapatan dari lini bisnis pertahanan yang pada 2019 bernilai US$ 386 juta menjadi setidaknya U$ 2 miliar pada 2024. Dengan karakter holding BUMN industri pertahanan yang mengandalkan pasar domestik, menaikkan pendapatan menjadi US$ 2 miliar sehingga berada pada posisi Top 50 Global Defense Companies pada 2024 adalah mission impossible. (miq/miq)
Demikianlah Artikel Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan
Sekianlah artikel Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2021/07/mission-impossible-holding-bumn.html
0 Response to "Mission Impossible Holding BUMN Pertahanan"
Posting Komentar