Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua

Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua - Hallo sahabat Berita Wawancara, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Artikel Kabar, Artikel Berita, Artikel Berita Wawan cara, Artikel Fenomena, Artikel Indonesia, Artikel Islam, Artikel Islami, Artikel Muslim, Artikel Politik, Artikel Ragam, Artikel Unik, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua
link : Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua

Baca juga


Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua

Memasuki daerah yang belum terjamah ...https://assets.promediateknologi.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2021/10/07/3928872903.jpegIlustrasi Lembah Baliem di Papua (Itchcreature/P. Krisno A)

ADA sebuah kisah unik prajurit Kopassus saat bertugas di Bumi Cendrawasih Papua yang saat itu masih banyak belum terjamah manusia. Pasukan baret merah yang dipimpin Kapten Feisal Tanjung dan anak buahnya Lettu Sintong Panjaitan usai melaksanakan tugas pengamanan Pepera di Irian.

Feisal Tanjung kelak menjadi Panglima ABRI dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Sedangkan Sintong Panjaitan pensiun dengan pangkat bintang tiga dan sempat menjadi penasihat Presiden Habibie Bidang Hankam.

Saat itu, ia bersama dengan kru film asing melakukan perjalanan ke Lembah X. Tim Lembah X adalah tim operasi kemanusiaan bentukan Brigjen TNI Sarwo Edhie. Operasi ini dibentuk setelah pada 1959 silam, seorang sineas Prancis, Pierre Dominique Gaisseau, pernah meminta izin untuk membuat film antropologi budaya di Irian. Setelah selesai, film yang kemudian diberi judul "Sky Above and Mud Beneath" menjadi film dokumenter pertama peraih Oscar. Kali ini Gaisseau kembali datang ke Irian Barat bersama dengan tim televisi NBC untuk membuat film mengenai Lembah X.

Dikutip dari buku Kopassus untuk Indonesia jilid II, Senin (15/11/2021) lembah tersebut sangat terpencil, bahkan belum ada di peta buatan Belanda. la pertama kali melihat Lembah X dari pengamatan udara di atas pegunungan Prince van Orange (Jaya Wijaya). Lembah itu terletak di tengah rimba belantara, sebelah utara puncak Juliana (Puncak Jaya), pada ketinggian 1.500 meter-2.700 meter.

Kepergian menuju Lembah X dapat dikatakan sebagai teritori yang belum terjamah manusia cukup mendebarkan. Pasalnya, pada 1961 terjadi kasus yang cukup menjadi perhatian dunia ketika Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, bersama antropolog Belanda Rene Wassing pergi untuk mempelajari suku Asmat yang menjadi subjek dari film Gaisseau "Sky Above and Mud Beneath". Kano yang ditumpangi terbalik dan tenggelam sehingga mereka terapung di lautan.

Namun Michael tak sabar menunggu bantuan. Ia berenang menuju pantai dan meninggalkan rombongannya. Saat Rene berhasil diselamatkan, Michael tak pernah lagi ditemukan meski pencarian intensif dilakukan dari laut dan udara. Ada indikasi Michael tewas karena praktik kanibalisme, jenazahnya tidak pernah ditemukan dan hanya sepotong kaki bersepatu saja yang berhasil ditemukan.

Misi Gaisseau kali ini juga antara lain untuk menunjukkan kepada dunia bahwa masih ada daerah yang belum terjamah manusia di bumi, ketika saat itu dunia sedang demam dengan proyek astronot pergi ke bulan. Setelah persiapan berbulan-bulan, rencananya tim akan diterjunkan dari udara menuju Lembah X.

Tim akhirnya berangkat menggunakan pesawat jenis Cessna yang telah dimodifikasi untuk penerjunan dan Lettu Sintong diposisikan sebagai penerjun pertama. Penerbangan menuju Lembah X cukup sulit karena kondisi geografis berupa hutan belantara yang amat padat. Pesawat harus berputar-putar sebelum akhirnya Sintong dan tim diterjunkan. Pendaratan sama sekali tidak berjalan mulus. Tidak ada satu pun yang mendarat sesuai rencana, semua meleset dari titik awal. Ada yang jatuh tersangkut pohon, ada yang mendarat pas di tengah kampung, dan ada yang berada cukup jauh sampai baru keesokan harinya ditemukan.

Sebelum berangkat, tim juga sempat mendapat arahan dari seorang pemuka agama di Papua bagaimana cara menghadapi masyarakat pedalaman. Cara menyapa mereka adalah dengan membuka tangan sambil tersenyum.

Gestur ini menunjukkan rasa persahabatan dan sempat dipraktikkan oleh Lettu Sintong-yang cukup nahas mendarat pas di tengah kampung. Kedatangannya langsung disambut dengan todongan tombak, panah, dan kapak batu. Sebagai prajurit nalurinya langsung memegang senapan siap menembak, tetapi alangkah terkejutnya ketika melihat semua pelurunya sudah jatuh bertebaran di antara kaki penduduk desa yang marah.


https://img.okezone.com/content/2021/11/15/337/2502153/legenda-kerajaan-perempuan-dan-kisah-survival-2-jenderal-kopassus-di-belantara-papua-t9tCEvvLMj.jpgNamun ia teringat arahan Pangdam bahwa ini bukan operasi tempur, segera ia membuka tangan sambil tersenyum.

Lambat laun ia melihat bagaimana masyarakat tidak lagi berteriak marah, kelihatan mereka tampak lega, bahkan satu orang diam-diam mendekati dan menyentuhnya, seakan-akan tidak percaya ada yang datang dan turun dari burung (pesawat).

Apa yang dilakukan Sintong ditiru anggota tim lain yang juga nahas mendarat tepat di tengah kampung. Kedatangan tim Lembah X pun akhirnya dapat diterima dengan tangan terbuka, walaupun komunikasi harus sepenuhnya dilakukan dengan bahasa isyarat.

Setelah 18 hari mereka di Lembah X, tepatnya pada 20 Oktober 1969, tim kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Sungai Meitanyeh yang akan menjadi titik awal perjalanan pulang ke Jayapura. Skenarionya, tim akan mendayung perahu karet melalui Sungai Meitanyeh yang bermuara di Sungai Inderberg dan melanjutkan perjalanan melalui Sungai Mamberamo untuk tiba di Jayapura. Mereka bahkan sempat berangan angan akan menyaksikan buaya berjemur di pinggir sungai, atau jika cukup waktu mereka berencana masuk ke Sungai Roffer untuk melihat benar tidaknya keberadaan legenda "kerajaan perempuan".

Semua tinggal angan-angan, pada kenyataannya perjalanan menembus rimba Irian Barat bukan sesuatu yang mudah. Mereka berjalan sambil terus diguyur hujan di ketinggian 3000 kaki, di mana lumut yang licin dan hawa yang dingin menjadi faktor yang amat memperlambat pergerakan tim, belum lagi kekhawatiran akan patukan ular kecil berkaki empat (Tiliqua Scincoides) yang amat mematikan.

Alam yang sulit dan rimba yang padat menyulitkan dorongan logist sehingga kelaparan adalah "makar sehari-hari". Dalam perjalanan itu, secara tidak sengaja mereka menemukan Lembah Y. Suatu kampung di tengah rimba dengan pemetaan struktur kampung yang mirip dengan Lembah X.

Setelah terdampar di tengah rimba hampir sebulan lamanya, pada 25 November akhirnya pesawat Dakota menurunkan enam perahu karet untuk menyusuri Sungai Meitanyeh menuju Sungai Inderberg dan berakhir di Sungai Mamberamo. Baru pada tanggal 5 Desember tim siap mengarungi Sungai Meitanyeh yang pada waktu itu amat deras karena musim hujan.

Gaisseau yang sudah memiliki pengalaman arung jeram di Amazon merasa percaya diri dengan kemampuannya dan memilih turun terakhir dengan perahu karet terkecil. Sungai Meitanyeh seakan merasa diremehkan, semua perahu karet terguling tidak sampai 200 meter dari titik awal. Betul, semua anggota tim mengenakan pelampung, tetapi tidak satu pun mengenakan helm.

Walhasil, Gaisseau sendiri tidak sadarkan diri sampai tiga kali karena kepalanya terantuk batu. Perahu karet Zodiac yang ditumpangi Kapten Feisal dan Lettu Sintong melaju tidak terkontrol sampai jatuh di air terjun dan terperangkap pusaran air, sebelum akhirnya para penumpang terpental dengan kekuatan tinggi keluar Zodiac.

Kapten Feisal berenang susah payah menuju ke pinggir sungai, sementara Lettu Sintong yang badannya terikat dengan perahu karet menolak melepaskan diri untuk berenang ke tepian karena berkeras untuk tidak terpisahkan dari radio, AK-47, dan dokumen Lembah X. Ia pun terseret ikut perahu hampir satu kilometer. Dari insiden Sungai Meitanyeh, tidak ada satupun hasil dokumentasi dan alat kru film yang dapat diselamatkan.

Perjalanan panjang kru film selama berbulan-bulan gagal, tetapi operasi kemanusiaan yang merupakan tujuan utama TNI berhasil dilakukan dan semua anggota selamat. Tim Lembah sudah hampir hilang motivasi untuk meneruskan perjalanan, tetapi airstrip (landasan pacu) terdekat dari lokasi mereka hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama tujuh bulan.

Mau tidak mau, mereka harus menyiapkan fisik lagi untuk berjalan. Beruntung menjelang Natal ada radiogram dari Brigjen Sarwo Edhie yang memerintahkan untuk menyiapkan helipad karena seluruh anggota tim akan dievakuasi denga helikopter. Kabar itu disambut gembira oleh semua tim dan ketika helikopter Bell tiba dengan senang semua memuat bawaan yang masih selamat ke dalam helikopter.

Nasib yang aneh lagi-lagi menimpa Lettu Sintong, ia terpaksa harus tinggal semalam lagi, sendiri, karena berat angkutan sudah melebihi kapasitas. Dengan bergurau sempat berkata bahwa jika saja keesokan harinya Lettu Sintong gagal dijemput, ada kemungkinan, karen kepopulerannya di antara pendudul Lembah X, ia bisa diangkat secar aklamasi menjadi Raja Lembah X.

 ♖ Okezone  


Demikianlah Artikel Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua

Sekianlah artikel Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2021/11/kisah-survival-2-jenderal-kopassus-di.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Survival 2 Jenderal Kopassus di Belantara Papua"

Posting Komentar