Judul : Kapabilitas Operasional Rendah
link : Kapabilitas Operasional Rendah
Kapabilitas Operasional Rendah
Alasan Kenapa Indonesia Perlu Beli Jet Tempur Pesawat Tempur Rafale milik Angkatan Udara Prancis di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. [Dokumentasi : KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG] ☆
Rencana pembelian jet tempur Rafale dari Prancis dan F-15ID dari Amerika Serikat oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menuai perdebatan di kalangan masyarakat, manakala pembelian sejumlah pesawat tempur tersebut dinilai sebagai suatu pemborosan anggaran di tengah kondisi Indonesia, yang saat ini sedang mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, padahal keperluan pembelian jet tempur tambahan untuk Indonesia penting karena adanya beberapa faktor.
Pertama, kesiapan operasional rendah, menurut data dari Military Balance 2022 yang dirilis oleh International Institute for Strategic Studies (IISS), Angkatan Udara Indonesia memiliki kapabilitas operasional pesawat hanya mencapai 45%, dari total 108 pesawat yang dioperasikan saat ini. Angka ini mengkhawatirkan, karena kapabilitas operasional pesawat saat ini tidak menyentuh bahkan 50%. Rendahnya angka kesiapan ini juga didukung karena adanya kekosongan armada sejak tidak lagi diterbangkannya pesawat F-5 Tiger II pada tahun 2016, setelah 7 tahun berlalu, pesawat pengganti dari armada F-5 Tiger II pun sampai saat ini belum bisa didatangkan ke Indonesia. Terlebih, banyak Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) pada matra Udara yang sudah mulai memasuki usia yang tidak lagi muda, sehingga selayaknya segera diganti dengan yang lebih baru untuk mendukung operasional satuan dalam menjalankan tugas.
Menyusul terjadinya perang di antara Rusia-Ukraina, dan penjatuhan sanksi-sanksi berat terhadap Rusia, maka terdapat kemungkinan terhambatnya proses perbaikan dan perawatan pesawat Sukhoi 27/30 yang masih diterbangkan oleh Indonesia saat ini. Apabila hambatan tersebut benar terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, artinya akan semakin menambah daftar pesawat yang ada pada Inventaris Indonesia untuk tidak dapat diterbangkan, dan angka kesiapan operasional pesawat akhirnya kembali menurun.
Kedua, Indonesia memiliki wilayah udara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dengan luas total mencapai 5.455.675 km2, berkaca dari wilayah udara yang sedemikian luas, maka diperlukan lebih banyak pesawat-pesawat berkualitas dengan teknologi terkini untuk melindungi keseluruhan luas wilayah kedaulatan Indonesia di sektor udara. Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 49 jet tempur, jumlah ini jauh lebih sedikit daripada kebanyakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, menurut data dari IISS Military Balance 2022, Singapura saat ini memiliki sekitar 100 jet tempur dan Australia memiliki 68 jet tempur, Malaysia dan Filipina meskipun jet tempurnya tidak sebanyak Indonesia, namun ke duanya tergabung dalam sebuah aliansi pertahanan, di mana Filipina beraliansi dengan Amerika Serikat dan Malaysia merupakan negara anggota aliansi Five Power Defence Arrangements (FPDA).
Idealnya negara dengan luas seperti Indonesia perlu setidaknya memiliki lebih dari 80 jet tempur yang terbagi di lebih dari 10 Skuadron Udara. Jet tempur yang dioperasikan pun selayaknya memiliki kualitas serta spesifikasi yang baik, didukung dengan teknologi termuktahir atau generasi terbaru serta dalam kondisi prima untuk dapat melaksanakan berbagai operasi sesuai perannya, sehingga dapat dengan sigap merespon setiap ancaman udara yang ada di bagian wilayah udara manapun hingga beberapa dekade ke depan.
Ketiga, hadirnya faktor ancaman fisik melalui pengerahan kekuatan militer dari negara lain menjadi satu hal yang tidak bisa lagi dikesampingkan. Adanya konflik Rusia-Ukraina menjadi sebuah bukti dan peringatan untuk Indonesia. Mengingat pada posisi strategisnya saat ini, Indonesia dikepung oleh berbagai macam aliansi militer seperti FPDA yang beranggotakan Inggris, Singapura, Malaysia, Singapura dan Selandia Baru serta aliansi trilateral antara Amerika Serikat, Australia serta Inggris dalam AUKUS.
Faktor ancaman lain adalah China, dengan keinginannya untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan (LCS) melalui Nine Dash Line (9DL) nya dan merebut kembali Taiwan dengan kekuatan militer maka pergerakan China adalah suatu hal yang patut diwaspadai. Sebab, apabila terjadi konflik di wilayah Laut China Selatan maka Indonesia akan terkena dampak langsung dari konflik di LCS, dikarenakan posisinya yang sangat dekat dengan wilayah tersebut. Lebih jauh, China berulang kali melakukan protes terhadap penambangan minyak dan gas yang dilakukan oleh Indonesia di Blok Tuna, Laut Natuna Utara.
Kapal Penjaga Pantai China dan Angkatan Laut China seringkali ikut andil dalam ‘melindungi’ nelayan-nelayan China yang kerap melakukan aktifitas illegal fishing di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, China berusaha untuk terus mempertahankan eksistensinya di wilayah ZEE negara-negara di Asia Tenggara yang terlibat pada sengketa perbatasan di LCS, yang juga mencangkup wilayah ZEE Indonesia. Tindakan China jelas merupakan ancaman bagi kedaulatan negara, yang semestinya mendapat respon keras dari Indonesia, sayangnya hal tersebut tidak akan bisa terwujud apabila Indonesia tidak dibekali kekuatan yang cukup.
Keempat, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan modernisasi alutsista pada sektor Udara dan Laut, hal ini dikarenakan oleh semakin berkembangnya teknologi yang memungkinan penembakan sebuah peluru kendali atau misil balistik dari wilayah yang jauh dari luar wilayah teritorial Indonesia. Penguatan kekuatan udara dan laut menjadi penting, selain berfungsi sebagai deteksi dini, alutsista-alutsista seperti pesawat tempur, kapal selam dan kapal perang permukaan yang lebih besar dan memiliki daya jelajah lebih jauh daripada kendaraan perang darat akan sangat membantu bagi Indonesia dalam merespon dan mengeliminasi bentuk ancaman yang letaknya jauh tersebut.
Membenahi postur pertahanan TNI menjadi hal krusial saat ini, selain Indonesia sudah terlampau lama tidak dapat melakukan modernisasi alutsista karena berbagai tantangan finansial dan embargo militer, proses pengadaan alutsista dengan teknologi kompleks seperti pesawat tempur tidak memakan waktu yang sebentar, bahkan bisa bertahun-tahun sampai pesawat-pesawat tempur tersebut benar-benar tiba dan bisa dioperasikan di Indonesia. Memang saat ini Indonesia dan bahkan dunia sedang berusaha bangkit dari pandemi COVID-19 yang sangat berdampak pada perekonomian negara.
Permasalahannya, tidak ada yang dapat memastikan secara tepat kapan pandemi ini berakhir, sementara bentuk ancaman kedaulatan negara terus berkembang dan berevolusi, meski di tengah pandemi sekalipun, kenyataan lainnya adalah kondisi memprihatinkan dari kesiapan operasional pesawat-pesawat yang dimiliki oleh Angkatan Udara Indonesia saat ini, perlu mendapatkan perhatian serius.
Rencana pembelian jet tempur Rafale dari Prancis dan F-15ID dari Amerika Serikat oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menuai perdebatan di kalangan masyarakat, manakala pembelian sejumlah pesawat tempur tersebut dinilai sebagai suatu pemborosan anggaran di tengah kondisi Indonesia, yang saat ini sedang mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, padahal keperluan pembelian jet tempur tambahan untuk Indonesia penting karena adanya beberapa faktor.
Pertama, kesiapan operasional rendah, menurut data dari Military Balance 2022 yang dirilis oleh International Institute for Strategic Studies (IISS), Angkatan Udara Indonesia memiliki kapabilitas operasional pesawat hanya mencapai 45%, dari total 108 pesawat yang dioperasikan saat ini. Angka ini mengkhawatirkan, karena kapabilitas operasional pesawat saat ini tidak menyentuh bahkan 50%. Rendahnya angka kesiapan ini juga didukung karena adanya kekosongan armada sejak tidak lagi diterbangkannya pesawat F-5 Tiger II pada tahun 2016, setelah 7 tahun berlalu, pesawat pengganti dari armada F-5 Tiger II pun sampai saat ini belum bisa didatangkan ke Indonesia. Terlebih, banyak Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) pada matra Udara yang sudah mulai memasuki usia yang tidak lagi muda, sehingga selayaknya segera diganti dengan yang lebih baru untuk mendukung operasional satuan dalam menjalankan tugas.
Menyusul terjadinya perang di antara Rusia-Ukraina, dan penjatuhan sanksi-sanksi berat terhadap Rusia, maka terdapat kemungkinan terhambatnya proses perbaikan dan perawatan pesawat Sukhoi 27/30 yang masih diterbangkan oleh Indonesia saat ini. Apabila hambatan tersebut benar terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, artinya akan semakin menambah daftar pesawat yang ada pada Inventaris Indonesia untuk tidak dapat diterbangkan, dan angka kesiapan operasional pesawat akhirnya kembali menurun.
Kedua, Indonesia memiliki wilayah udara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dengan luas total mencapai 5.455.675 km2, berkaca dari wilayah udara yang sedemikian luas, maka diperlukan lebih banyak pesawat-pesawat berkualitas dengan teknologi terkini untuk melindungi keseluruhan luas wilayah kedaulatan Indonesia di sektor udara. Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 49 jet tempur, jumlah ini jauh lebih sedikit daripada kebanyakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, menurut data dari IISS Military Balance 2022, Singapura saat ini memiliki sekitar 100 jet tempur dan Australia memiliki 68 jet tempur, Malaysia dan Filipina meskipun jet tempurnya tidak sebanyak Indonesia, namun ke duanya tergabung dalam sebuah aliansi pertahanan, di mana Filipina beraliansi dengan Amerika Serikat dan Malaysia merupakan negara anggota aliansi Five Power Defence Arrangements (FPDA).
Idealnya negara dengan luas seperti Indonesia perlu setidaknya memiliki lebih dari 80 jet tempur yang terbagi di lebih dari 10 Skuadron Udara. Jet tempur yang dioperasikan pun selayaknya memiliki kualitas serta spesifikasi yang baik, didukung dengan teknologi termuktahir atau generasi terbaru serta dalam kondisi prima untuk dapat melaksanakan berbagai operasi sesuai perannya, sehingga dapat dengan sigap merespon setiap ancaman udara yang ada di bagian wilayah udara manapun hingga beberapa dekade ke depan.
Ketiga, hadirnya faktor ancaman fisik melalui pengerahan kekuatan militer dari negara lain menjadi satu hal yang tidak bisa lagi dikesampingkan. Adanya konflik Rusia-Ukraina menjadi sebuah bukti dan peringatan untuk Indonesia. Mengingat pada posisi strategisnya saat ini, Indonesia dikepung oleh berbagai macam aliansi militer seperti FPDA yang beranggotakan Inggris, Singapura, Malaysia, Singapura dan Selandia Baru serta aliansi trilateral antara Amerika Serikat, Australia serta Inggris dalam AUKUS.
Faktor ancaman lain adalah China, dengan keinginannya untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan (LCS) melalui Nine Dash Line (9DL) nya dan merebut kembali Taiwan dengan kekuatan militer maka pergerakan China adalah suatu hal yang patut diwaspadai. Sebab, apabila terjadi konflik di wilayah Laut China Selatan maka Indonesia akan terkena dampak langsung dari konflik di LCS, dikarenakan posisinya yang sangat dekat dengan wilayah tersebut. Lebih jauh, China berulang kali melakukan protes terhadap penambangan minyak dan gas yang dilakukan oleh Indonesia di Blok Tuna, Laut Natuna Utara.
Kapal Penjaga Pantai China dan Angkatan Laut China seringkali ikut andil dalam ‘melindungi’ nelayan-nelayan China yang kerap melakukan aktifitas illegal fishing di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, China berusaha untuk terus mempertahankan eksistensinya di wilayah ZEE negara-negara di Asia Tenggara yang terlibat pada sengketa perbatasan di LCS, yang juga mencangkup wilayah ZEE Indonesia. Tindakan China jelas merupakan ancaman bagi kedaulatan negara, yang semestinya mendapat respon keras dari Indonesia, sayangnya hal tersebut tidak akan bisa terwujud apabila Indonesia tidak dibekali kekuatan yang cukup.
Keempat, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan modernisasi alutsista pada sektor Udara dan Laut, hal ini dikarenakan oleh semakin berkembangnya teknologi yang memungkinan penembakan sebuah peluru kendali atau misil balistik dari wilayah yang jauh dari luar wilayah teritorial Indonesia. Penguatan kekuatan udara dan laut menjadi penting, selain berfungsi sebagai deteksi dini, alutsista-alutsista seperti pesawat tempur, kapal selam dan kapal perang permukaan yang lebih besar dan memiliki daya jelajah lebih jauh daripada kendaraan perang darat akan sangat membantu bagi Indonesia dalam merespon dan mengeliminasi bentuk ancaman yang letaknya jauh tersebut.
Membenahi postur pertahanan TNI menjadi hal krusial saat ini, selain Indonesia sudah terlampau lama tidak dapat melakukan modernisasi alutsista karena berbagai tantangan finansial dan embargo militer, proses pengadaan alutsista dengan teknologi kompleks seperti pesawat tempur tidak memakan waktu yang sebentar, bahkan bisa bertahun-tahun sampai pesawat-pesawat tempur tersebut benar-benar tiba dan bisa dioperasikan di Indonesia. Memang saat ini Indonesia dan bahkan dunia sedang berusaha bangkit dari pandemi COVID-19 yang sangat berdampak pada perekonomian negara.
Permasalahannya, tidak ada yang dapat memastikan secara tepat kapan pandemi ini berakhir, sementara bentuk ancaman kedaulatan negara terus berkembang dan berevolusi, meski di tengah pandemi sekalipun, kenyataan lainnya adalah kondisi memprihatinkan dari kesiapan operasional pesawat-pesawat yang dimiliki oleh Angkatan Udara Indonesia saat ini, perlu mendapatkan perhatian serius.
Demikianlah Artikel Kapabilitas Operasional Rendah
Sekianlah artikel Kapabilitas Operasional Rendah kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Kapabilitas Operasional Rendah dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2022/03/kapabilitas-operasional-rendah.html
0 Response to "Kapabilitas Operasional Rendah"
Posting Komentar