Judul : Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku
link : Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku
Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku
Kamar itu begitu sunyi. Dinding berwarna biru muda itu tak memantulkan suara apapun. Hanya degup jantung sepasang insan yang terdengar semakin cepat.
Dinding itu diam. Seperti dua insan yang saling membisu. Mematung. Setelah pertanyaan meluncur dari mulut perempuan bermata sipit itu. "Terus kita mau bagaimana?"
Hanya sebuah kalimat. Tetapi sanggup membuat dua hati hancur berkeping keping. Menorehkan luka yang begitu dalam. Membekas hingga ratusan purnama setelahnya.
"Sudah lah, tak perlu membahas itu lagi. Kita jalani saja". Dengan suara tertekan pria muda dengan wajah sendu itu melempar jawaban. Berharap bisa menenangkan. Meski dalam hati, jalan buntu sudah ada di depan mata.
Hening. Tiga puluh menit berlalu. Tak ada yang bergerak. Hanya suara tangis yang tertahan. Perempuan itu tak kuasa menahan nyeri di dada. Lubang di hatinya terasa semakin dalam ketika pada suatu titik mereka kembali membahas kelanjutan hubungan mereka. Sebuah cinta yang begitu kuat, tetapi jurang diantara mereka sangat dalam. Dan mereka tahu. Mereka berdua sama sama tak berani menyeberangi jurang itu.
"Aku pulang ya" tanpa menunggu jawaban Danu keluar dari kamar itu. Menutup pintu kamar dengan perlahan. Kembali ke kost yang hanya terpisah gang kecil.
Wajah kuyu menyertai kepergian lelaki itu.
Lisa tetap mematung. Bahunya berguncang semakin keras. Tangis yang tertahan akhirnya pecah. Selimut kesayangannya basah. Kemudian dia tertidur. Kepayahan setelah air matanya kering.
***
Seperti sebelum-sebelumnya. Tangisan siang itu telah lenyap. Ketika mereka kembali bersama. Saling memberi kabar sepanjang hari via pesan pendek di handphone Nokia yang tanpa disengaja ternyata bertipe sama sejak mereka bertemu pertama kali. Menikmati makan malam di lesehan pecel lele dekat kos dan menutup hari dengan berkeliling kota Jogja. Rona kebahagiaan begitu terpancar di wajah keduanya. Seolah-olah luka itu tak pernah ada. Tangis semalam hilang, terkalahkan oleh binar-binar cinta.
Hingga pada suatu hari.
"Yank, minggu depan aku balik ke Lombok. Ibu sudah menelpon lagi dan meminta aku segera pulang". Dengan hati-hati Danu memberitahu Lisa akan kepulangannya ke kampung halamannya pekan depan.
Meski perkataan Danu bagai petir kering yang tiba-tiba pecah di udara, Lisa berlagak tenang "Ya udah, hati-hati ya. Aku perlu nganter nggak?"
"Iya donk, sayang" Danu mencoba menjaga hatinya, terutama menjaga hati perempuan yang amat disayanginya. Dia tak ingin suasana yang indah kembali berakhir dengan tangisan seperti biasanya.
"Tenang, aku nggak akan nangis kok. Susah bosen nangis mulu. Hayati lelah" sambil tersenyum Lisa menatap wajah lelaki yang telah merebut hatinya. Lelaki yang telah menjadi separuh jiwanya selama 5 tahun terakhir.
Senyum merekah di bibir keduanya. Tangan mereka saling menggenggam. Begitu erat seolah tak ingin lepas. Pikiran mereka menggembara. Hati mereka kembali pilu.
Danu merapikan anak rambut Lisa dengan lembut. "Kita pulang yuk, rumah kamu 'kan jauh"
***
Perjalanan dari Wonogiri hingga kota Solo terasa begitu jauh. Perjalanan dalam diam menyiksa batin mereka. Dalam hati mereka ingin waktu berhenti berputar. Mereka ingin bersama, selamanya. Tanpa jarak, tanpa jeda dan tanpa beda.
Rumah Lisa sudah terlihat dari ujung jalan.
"Jangan lupa pamitan sama Ibu sekalian, kan terakhir kali bertemu sama Ibu" Lisa mengingatkan Danu untuk mengucapkan kata perpisahan pada perempuan yang telah melahirkan gadis yang amat disayanginya.
Danu menata hati. Menelan ludah dan mencoba membasahi kerongkongan yang tiba-tiba terasa sangat kering. Hati Danu hancur. Bagi Danu, Ibu Lisa bukanlah tidak berarti apa-apa. Perempuan yang baik hati dan berhati lembut itu juga sangat menyayangi Danu. Danu tahu itu. Danu merasa sangat bersalah tidak bisa membahagiakan Lisa dan memenuhi permintaan Ibu Lisa. Permintaan yang sangat berat dan Danu tak sanggup memenuhinya.
"Kamu tahu sendiri Mbak Sekar sudah ikut suaminya, Mas ku sedang sakit dan tidak bisa diandalkan, jika aku juga pindah bagaimana perasaan Ibu?" Obrolan dengan Lisa di "diskusi"yang terakhir terngiang dikepalanya.
"Ya, sudah. Aku juga nggak bisa. Kamu pulang saja. Semoga mendapatkan istri yang sholehah, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik" suara getir Lisa terasa bagai godam yang menghantam kepala Danu.
Kisah yang mereka rajut dengan indahnya. Tanpa pernah terkoyak oleh perselingkuhan ataupun pertengkaran harus mereka sobek sendiri. Perlahan tapi pasti. Jalinan itu akan putus.
Sampai di depan pintu, Lisa memanggil Ibunya dan memberi tahu jika Danu akan pulang ke Lombok. Ibu Lisa tertegun sejenak tetapi segera sadar dan berjalan menuju teras.
"Ayo duduk dulu Mas Danu" Ibu Lisa berusaha mencairkan suasana yang mulai tegang
"Udah Bu, ndak usah saya langsung pulang saja sekalian mau pamit, minggu depan mau balik ke Lombok. Kuliah saya 'kan sudah selesai lama. Ibu meminta saya bekerja disana saja"
"Oh gitu, ya udah hati-hati ya, salam buat Bapak dan Ibu disana. Kalau pas ke Solo jangan lupa mampir" keramahan perempuan berwajah oriental itu tak hilang meski hatinya kecewa dengan kepergian Danu.
"Iya Bu, makasih"
Dibalik kaca jendela, Lisa terguguk. Air matanya sudah tak terbendung. Terlebih saat melihat Danu berpelukan dengan Ibunya. Mereka berdua menangis. Lelaki dan perempuan yang Lisa sayangi menangis. Perempuan yang telah melahirkannya dua puluh dua tahun yang lalu menangis, bersama dengan calon mantu yang tak kan pernah jadi menantunya.
Ibu Danu menyusut ujung matanya. Danu mengerjab-ngerjabkan matanya yang mulai memerah dan undur diri.
Sepeda motor Vega berplat nomor karesidenan Surakarta melaju meninggalkan dua perempuan. Yang sama-sama hancur. Lisa berlari menuju ruang tengah, menyalakan televisi dan tertawa-tawa seolah tak ada apa-apa.
***
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lisa memacu sepeda motornya menuju Wonogiri, kota terpencil di timur kota Solo. Lagu campur sari lirih terdengar dari kejauhan. Kampung yang sepi karena ditinggal anak mudanya merantau ke kota. Di kampung itu mayoritas dihuni manusia sepuh, sebagian besar penduduk usia produktif bekerja di kota besar dan pulang kampung saat hari raya saja.
Dari kampung ke kampung alunan campur sari selalu terdengar. Seolah tak terputus. Suara gamelan yang dipukul para pemain yang sedang berlatih atau suara merdu Manthous yang mengalun dari radio yang diputar dengan volume maksimal. Terdengar hingga ujung desa.
Rumah khas Jawa dengan atap limasan sudah ada di depan mata. Lisa memarkir motornya dengan perlahan seolah tak ingin mengganggu Simbah Danu yang sedang sembayang di musholla depan rumah.
Nyeri itu datang lagi.
"Aku tak mungkin membiarkan Danu meninggalkan keyakinannya, aku tak ingin Simbah, Ibu dan Bapaknya bersedih. Aku tak ingin bahagia sedang mereka terluka" Lisa meyakinkan dirinya jika keputusannya dari awal mengenal Danu hingga sekarang sangat mencintai lelaki itu tak berubah. Hubungan mereka yang jalan di tempat harus disudahi.
"Eh nak Lisa, itu Danu sudah siap-siap" tiba-tiba saja Simbah putri Danu berada dihadapan Lisa. Pikiran kosong menggelayuti Lisa membuat dia tak sadar sudah melamun cukup lama.
"Nggih mbah" Lisa mengikuti simbah Danu masuk ke dalam rumah.
Di dalam, Danu sudah siap dengan ransel serta gitarnya. Mereka berpamitan kemudian berboncengan menuju shuttle travel menuju Surabaya. Lima belas tahun yang lalu belum ada penerbangan langsung dari bandara Adi Sumarmo menuju bandara Selaparang. Danu harus menempuh ratusan kilometer dengan minibus sebelum terbang, kembali ke tanah kelahirannya.
Tak ada kata dalam perjalana menuju shuttle travel. Lisa dan Danu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tangan kiri Lisa memegang erat gitar Danu. Masih terdengar jelas di telingga Lisa saat-saat dimana Danu selalu memetik gitar dan bersenandung untuk Lisa.
Saat indah dalam hidupku,saat aku bertemu denganmu,kau anugrah yang tercipta begitu nyata,kau tercantik dalam hatiku,walaupun orang tak berkata begitu,ku ingin kau disampingku selamanya
Tiba-tiba mereka menyanyikan lagu yang sama. Bila Engkau, sebuah lagu yang Danu nyanyikan saat menyatakan cintanya pada Lisa 5 tahun dan kemudian menjadi theme song perjalanan cinta mereka. Tangan kanan Lisa memeluk Danu begitu erat, seolah tak ingin melepas. Lelaki yang ada di depannya sebentar lagi akan pergi dan mungkin dia tak akan pernah melihatnya lagi.
Sebuah minibus sudah menunggu di depan agen travel. Danu bergegas turun dari motor dan memasukkan barang bawaannya ke dalam bagasi dibantu oleh petugas dari agen travel.
"Silakan masuk mas, mobil akan segera berangkat" sopir bertopi hitam itu mengingatkan mereka jika perpisahan sudah diujung waktu. Segera kami bersalaman. Danu mengacak-acak rambut Lisa dan tersenyum kecut.
Lisa segera mencium tangan lelaki yang amat dikasihinya itu dan kembali duduk. Minibus berwarna silver semakin itu semakin mengecil hingga tak tampak lagi. Jalanan yang begitu ramai mendadak terasa sunyi. Sepi menyelubunginya dalam sekejab. Tiba-tiba separuh napasnya terserabut. Perempuan yang terlihat selalu bahagia dan tegar itu ternyata bisa patah hati.
Lisa mengumpulkan seluruh energi yang tersisa. Dia memacu motornya dengan perlahan. Dia ingin menikmati perjalananannya dari Wonogiri menuju Solo. Ingin mengenang semua yang pernah dilalui bersama Danu. Air mata tak berhenti mengalir. Pandangannya kabur. Lisa ingin berhenti menangis, tapi gadis itu tak kuasa menahan kepedihan hatinya.
***
Pagi menjadi tak sama lagi. Handphonenya mendadak tak bernyawa. Tak ada ucapan selamat pagi ataupun pesan yang mengingatkan Lisa untuk tidak lupa makan siang. Kontak yang ia namai "My Lovely" sudah dia hapus dari daftar nama di Nokia 3530. Meski, 11 digit angka itu sejatinya sudah terpatri di kepalanya dan rasanya tak akan terlupa sepertinya hapalnya Lisa pada lima sila dasar negaranya.
Perempuan yang ceria itu nyatanya bisa "hancur" Rambut panjangnya dia potong pendek. Tak beda dengan rambut adik laki-lakinya. Lisa merasa hidupnya akan baik-baik saja. Dari luar semua terlihat baik-baik saja, perempuan itu bisa melanjutkan hidupnya. Penebar aura ceria bagi sekelilingnya. Tapi tak ada yang tahu. Lubang di hati Lisa masih menganga.
***
Beranda sosial media mendadak sangat ramai. Cuitan di twitter pun semakin riuh. Lisa membuka akun facebooknya. Berita sedih datang dari pulau seribu masjid. Sebuah pulau dengan pantai-pantai yang sangat cantik. Keindahan pulau itu tak asing bagi Lisa. Hampir setiap hari dia mendengar cerita tentang Pulau Lombok, tentang masyarakatnya, tentang budayanya hingga Lisa merasa sangat mengenal pulau itu walaupun belum sekalipun jejaknya menapak di pulau kecil yang memiliki lebih dari 9000 masjid ini.
"Telah terjadi 276 kali gempa susulan hingga Senin (30/7/2018) per pukul 08.00 WIB"
Dada Lisa bergetar, berita bencana sudah sering dia dengar tetapi gempa bumi yang mengguncang Pulau Lombok tak urung menggetarkan hatinya. Wajah lelaki itu memenuhi kepala Lila. Berputar-putar dengan ganas menuju rongga dadanya. Menyesaki hatinya. Terempas-empas di dinding-dinding hatinya yang lara.
"Ah, pasti dia baik baik saja. Lombok Barat 'kan jauh dari pusat gempa" Lisa menenangkan dirinya sendiri. Dia urung menanyakan kabar pada Danu.
Inilah gempa 6,9 SR dan gempa susulannya (warna merah) yang mengguncang Lombok pada 19/8/2018 pukul 19.56 WIB hingga 20/8/2018 pukul 08.00 WIB. Sumber gempa berasal dari Sesar Naik Flores di utara Pulau Lombok dan Sumbawa. pic.twitter.com/7RGS2DXo1X— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) 20 Agustus 2018
Dua puluh hari berlalu, ratusan gempa masih saja terjadi di Pulau Lombok, bahkan gempa bumi dengan skala besar terjadi berulang pada Minggu malam hingga Senin pagi. Lisa merasa gundah, sepanjang hari dia tidak bisa berkonsentrasi. Beberapa deadline yang harus dia selesaikan terbengkalai. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang sebelum bel penanda selesainya jam kerja berbunyi.
Seragam kantor masih melekat di tubuh Lisa. Dengan tergesa dia menekan 11 angka yang belum dia lupakan meski belasan tahun telah berlalu.
Lisa memberanikan diri menghubungi Danu. Setelah belasan tahun berlalu sejak perpisahan mereka di shuttle travel dan Lisa mengganti nomor lamanya dengan nomor baru. Tak pernah membuka email lama dan menutup semua akun sosmed lamanya.
Lisa tak berniat mengganggu, ia hanya ingin mendengar kabar gembira dari pulau sebrang. Hanya itu.
"Assalamualaikum, hallo ini siapa ya" suara perempuan dari ujung telepon mengejutkan Lisa. Dia berharap bisa mendengar suara Danu tetapi kenyataan berkata lain. Tentu ini istrinya. Konsentrasi Lisa sekejab buyar.
"Hallo, hallo" suara lembut perempuan itu kembali terdengar.
"Eh, iya, wallaikum salam. Saya Lisa temannya Mas Danu dari Jogja, mau bicara dengan Mas Danu apakah bisa?" Lisa berusaha keras berbicara sewajarnya.
"Maaf, Mas Danunya sudah nggak ada, ini Bu Lisa mantan pacarnya Mas Danu ya?" nada cemburu sedikit tersirat dari suara perempuan itu. Meski perempuan itu juga berusaha menyembunyikan rasa sedih dan rasa penasaran yang dia rasakan sejak menikah dengan Danu.
"Oh, bukan, saya hanya teman lama saja kok. Teman kuliah". Lisa jelas berbohong. Mereka tidak pernah sekampus tetapi Lisa tak ingin menyakiti perempuan bersuara lembut itu. Bayangan perempuan berkerudung bersliweran di kepala Lisa. Impiannya agar Danu mendampat pendamping wanita yang sholehah sepertinya menjadi kenyataan.
"Mas Danunya ada mbak?" sekali lagi Lisa ingin segera disambungkan dengan si pemilik nomor handphone itu.
"Mbak Lisa, mohon maaf dan mohon doanya untuk Mas Danu ya. Mas Danu ikut menjadi korban saat membantu evakuasi di Lombok Timur pekan lalu. Besok ada pengajian tujuh harian Mas Danu. Mohon doanya dan mohon dimaafkan jika selama ini Mas Danu pernah ada salah sama Mbak. Foto-foto mbak masih tersimpan di bawah baju di dalam lemari Mas Danu. Baru kemaren saya bongkar isi lemari Mas Danu. Ternyata dia masih menyimpan kenangan dengan mbak" suara perempuan itu tercekat.
Badan Lisa menggigil. Hatinya remuk redam. Bukan berita seperti ini yang dia inginkan. Lisa hanya ingin mendengar suara lelaki di seberang pulau itu menjawab lewat telpon "Aku baik baik saja Lisa, aku dan keluargaku jauh dari sumber gempa, doakan saja semoga bencana segera berlalu"
Lisa hanya ingin mendengar kabar Danu sekeluarga selamat, bahagia bersama keluarga kecilnya dan sudah melupakan kisah cinta mereka yang berakhir tragis.
"Mbak, hallo, mbak Lisa masih disana?" Lisa tersadar di ujung telepon masih ada perempuan yang menunggu respon darinya.
"Baik mbak, terimakasih atas pemberitahuannya, mohon maaf jika saya mengganggu. Walaikum salam" Lisa menutup telponnya. Luka yang tinggal menyisakan parut kembali berlubang.
Gek jaman berjuang, njur kelingan anak lanangmbiyen tak openi, saiki ono ngendi
jarene wis menang keturutan sing digadang
mbiyen ninggal janji
saiki opo lali
Sayup sayup terdengar lantunan suara Ki Manthous dengan lagu Caping Gunung. Lisa termangu. Terduduk di sofa tanpa bergerak. Smartphonenya tergeletak di lantai. Tak ada air mata mengalir. Hanya dadanya bertambah sakit. Nyeri yang sudah lama tak berdenyut di dadanya kembali menyeruak. Sakitnya berpuluh kali lipat dari pada saat dia harus melepas lelaki itu terbang meninggalkan pulau Jawa tanpa harapan akan bisa bertemu lagi.
Lisa terlempar ke masa lalu.
Di tepi waduk Kedungombo 15 tahun yang lalu. Sehari sebelum mereka berpisah Mas Danu pernah berkata "Kasihan istriku nanti. Kelak, dia hanya bisa memiliki tubuhku, bukan jiwaku"
***
Demikianlah Artikel Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku
Sekianlah artikel Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku dengan alamat link https://beritawawancara.blogspot.com/2018/08/ketika-duka-pulau-seribu-masjid-juga.html
0 Response to "Ketika Duka Pulau Seribu Masjid, Juga Menjadi Dukaku"
Posting Komentar